Prolog: Seorang teman bertanya, “Menurut lo; bagusnya gue berhenti kerja apa nggak, ya?” Dia adalah salah seorang perempuan pintar yang saya kenal. Kami berteman sejak duduk di bangku kuliah. Sekarang ini, karirnya sedang menanjak dengan gaji yang lumayan tinggi. Calon suaminya meminta dia untuk berhenti bekerja setelah menikah. Kebanyakan perempuan mungkin mengalami hal ini, kegundahan menjadi ibu-bekerja.

“Tergantung prioritas,” jawab saya. ”Pengennya sih, gue tetap bekerja. Lagipula, itu kan buat anak-anak juga. Gue bisa menyiapkan bekal pendidikan yang paling baik buat mereka,” katanya memberi alasan. ”Lalu kenapa masih bingung?” saya balik bertanya. ”Karena pasti gue bakal merasa bersalah karena ninggalin mereka di rumah,” jawabnya dengan wajah yang muram. ”There you go. You don’t have to ask me, you know the answer,” kata saya. Kenapa? Karena hati nurani tidak pernah bohong. Kita boleh mengajukan seribu alasan, tapi hati nurani hanya punya satu jawaban yang sesungguhnya. Menjadi ibu, keinginan untuk mengasuh anak, keinginan untuk selalu berada di dekat anak adalah fitrah. Rasa bersalah timbul karena pengingkaran fitrah tersebut. Kalau sudah benar tentu hati tidak akan gundah, bukan? Sederhana saja.

Kembali bekerja setelah mempunyai anak atau berhenti bekerja setelah punya anak, dua-duanya adalah keputusan yang sama beratnya. Dulu, untuk memikirkannya saja; rasanya seperti ada perang di dalam kepala dan hati saya. Otak dan hati selalu bentrok. Apalagi orang-orang terdekat nyaris tidak ada yang memihak pada opsi berhenti bekerja. ”Gila lo yaaa…” cetus seorang teman, saat saya mengungkapkan kebingungan antara pekerjaan dan anak. ”Orang yang mau jadi PNS itu banyak. Lo yang sudah jadi PNS, masa mau berhenti?” kata teman saya. ”Jadi PNS itu sudah yang paling pas. Tidak terlalu sibuk dan fleksibel. Jika harus tidak masuk kantor karena urusan anak, atasan pasti maklum kok.” Teman yang lain menanggapi. ”Ingat-ingat saja, ada uang pensiun setiap bulannya di hari tua. Apalagi laki lo kan kerja swasta,” sahut yang lain. Makin gundah lah hati saya.

Sembari memikirkan keputusan yang akan diambil seusai masa cuti melahirkan, saya pun membaca-baca wacana tentang ibu-rumah-tangga dan ibu-bekerja. Buku terjemahan karangan Danielle Crittenden (Perempuan Salah Langkah, 2002) dan beberapa artikel tentang perempuan dari almanhaj.or.id adalah di antaranya. Lhooo…kok lebih banyak tentang yang bekerja di rumah? Mungkin karena pada dasarnya memang saya sudah berat ke rumah, ya. Mungkin juga karena saya terlalu malas untuk jungkir-balik kerja domestik-publik… Hahaha! Akhirnya keputusan saya untuk berhenti bekerja pun mantap. Suami yang sedari awal menginginkan saya untuk fokus saja ke anak dan rumah tangga pun berlega hati karena tidak perlu lagi ’menceramahi’ saya setiap hari tentang prioritas istri-ibu yang ’muslimah’. ”Sudah bapaknya bekerja dari pagi sampai malam, masa ibunya juga mau ikut pergi pagi pulang malam,” katanya. ”Jika suaminya sudah cukup menafkahi, perempuan itu wajibnya di rumah,” tambahnya lagi. ”Aku kan kerja bukan untuk cari duit,” jawab saya. ”Nah, apalagi bukan untuk cari duit. Lebih nggak wajib lagi, dong?” dia balik bertanya.


Surah Al-Ahzab 33-34, artinya: ”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang terdahulu dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatilah Allah dan RasulNya sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi) sesungguhnya Allah adalah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.”

Lalu bagaimana dengan aktualisasi diri saya? Demikian protes saya. Jawabannya saya temukan dalam bukunya Crittenden. Jika bukan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bekerja (aktualisasi diri) hanya menjadi pemuasan ego saya pribadi. Padahal dengan menjadi seorang ibu berarti ada tanggung jawab kepada pihak lain (anak). Harus ada yang mengasuh anak saya, harus ada yang mengatur bidang domestik rumah tangga saya. Pengasuh bukan jawaban karena sebenarnya yang paling dibutuhkan seorang anak tentu adalah ibunya. Menurut Crittenden…dan saya sih, setuju. Saya tidak sampai hati mendahulukan ’kepentingan pribadi’ saya daripada kepentingan anak. Saya kira mengasuh anak itu ternyata membutuhkan konsentrasi penuh ya. Saya ngurus satu anak aja belum tentu beres, mau dibagi pulak konsentrasinya dengan pekerjaan. Nanti bagaimana saya mempertanggungjawabkannya kepada Allah Swt?

Lalu dengan menjadi seorang istri-ibu berarti mengesampingkan kebutuhan pribadi seorang perempuan? Tidak perlu merasa ’diremehkan’ dengan adanya koridor tersebut, karena apa-apa yang sudah diatur oleh-Nya adalah yang terbaik bagi umat-Nya, buat perempuan juga. Apalagi Islam adalah agama yang mengangkat harkat wanita, setelah dulu tertindas pada jaman jahiliyah. Walaupun perempuan ‘lebih baik di rumah‘, ‘bekerjanya perempuan adalah di rumah‘, toh Islam tidak melarang perempuan bekerja. Ada beberapa keluarga yang penghasilan suaminya tidak mencukupi, sehingga sang istri harus ikut bekerja juga. Tapi dengan catatan, pekerjaannya sesuai dengan koridor yang telah disyariatkan. Saya sih merasa, adanya koridor tersebut justru menjaga betul fitrah perempuan sebagai seorang ibu. Keep balance. Lihat “Pekerjaan Perempuan Muslimah” dan “Perempuan Bekerja, Asalkan…”. Aktualisasi didapat, fitrah terjaga, syariat terlaksana. Saya sempat berpikir mencari pekerjaan yang bisa dikendalikan dari rumah untuk menggantikan pekerjaan saya yang lama. Model home-based ini sepertinya cocok sekali, dengan demikian pekerjaan dan anak dapat dikontrol dari rumah. Jadi tidak terlalu banyak waktu terbuang di luar rumah. Tapi lama-lama saya semakin malas 😉 Buat saya, kehilangan pekerjaan telah tergantikan dengan kepuasan ‘bekerja’ sebagai seorang ibu. Meskipun tidak tahu juga bagaimana tahun-tahun mendatang jika anak sudah sibuk sekolah. Saya jadi yakin seyakin-yakinnya; jika tahu ’ilmunya’, tauhid dan iman pada Allah Swt serta ketentuan-Nya, maka saya dapat dengan ikhlas menjalani sehingga mendapatkan kebahagiaan yang sudah dijanjikan-Nya. Bukankah Islam itu rahmatan lil a’lamin?

Selang beberapa waktu berlalu… Waduh, anak saya kok makin lama makin menggemaskan ya? Melihat senyum dan tawanya yang menggemaskan, rasanya saya jadi orang yang paling bahagia sedunia. Jika ia sakit, hati saya serasa ditusuk-tusuk sembilu. Bila ia memanggil saya dengan manja… Aduuuh! Mendengarnya saya pasti tidak tahan, langsung memeluk dan mengecup pipinya dengan perasaan bagai terbang ke langit tujuh. Apalagi kalau ia bilang enak pada masakan yang saya buat, sambil tersenyum lebar dan mata berbinar-binar. Sudah pasti GR-lah saya! Terutama karena saya tidak pintar masak… Tiba-tiba ia sudah pintar bicara saja. Padahal sepertinya baru kemarin saya menggendong dia yang masih bayi. Rasanya sayaaang… sekali, kalau sampai melewatkan masa tumbuh-kembangnya yang cuma terjadi sekali seumur hidup dan tidak bisa diputar-ulang. Saya pun bersyukur memiliki kemewahan untuk memilih antara bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Saya juga bersyukur telah memilih menjadi ibu-penuh-waktu. Jika masih bekerja, saya pasti kehilangan momen-momen indah ini… Ini adalah kebahagiaan saya yang tidak tergantikan oleh apa pun.

Epilog: Joyfull youth, best school, flying marks, glorious days, good job, great friends, perfect-romance, wonderful journey abroad, get married and having a baby. I achieved it all. Those feel to me like the good old days. It’s baby time. Now I’m happy in my role as a ‘family manager’ and a ‘mom’.

Baca juga.. :
>> Prioritas Sang Ibu
>> Memilih Anak atau Karir