22/07/08
Pada majalah Gatra No. 36 Tahun XIV Edisi 17 – 23 Juli 2008, Sarlito Wirawan Sarwono menulis di kolomnya perihal “Mengapa Remaja Menjadi Beringas?”. Beliau menyoroti tentang kasus kekerasan yang terjadi di antara remaja; dari tawuran sekolah, STPDN, kasus smack down yang dilakukan anak SD, geng motor asal Bandung, hingga yang terakhir adalah geng Nero. Beliau menulis bahwa semua itu terjadi bukan karena kurangnya pendidikan agama. Juga bukan karena faktor keluarga broken home, karena rata-rata mereka berasal dari keluarga utuh (tidak bercerai). Kemungkinan besar berasal dari keluarga kelas sosial menengah-atas, karena untuk menjadi anggota geng syaratnya harus punya motor.

Kalau menurut saya sih… [suka-suka saya boleh dong, kan blog sendiri 😉 ] Setuju sekali bahwa biang keladinya bukan karena pendidikan agama. Saya yakin anak sekolahan pada umumnya memiliki pendidikan/pengetahuan agama yang cukup. Kan sudah belajar dari kelas 1 SD. Bahwa kekerasan itu tidak baik, mereka pasti sudah tahu. Budi pekerti yang baik itu bagaimana, mereka juga sudah mengerti. Dosa dan pahala, surga dan neraka, pasti udah fasih laah… Jadi yang kurang bukan pendidikan agamanya, melainkan pemahamannya dan keimanannya. Balik lagi ke soal iman deh. Saya yakin kalau mereka yang sudah dibekali pengetahuan agama yang cukup dan disertai pemahaman serta keyakinan (iman) atas agama masing-masing, tidak akan deh, melakukan kekerasan. Tidak akan mudah juga ikut-ikutan atau terpengaruh lingkungan yang tidak benar. Tetapi kalau cuma tahu tapi tidak paham apalagi tidak iman, ya percuma. Saya percaya bahwa agama adalah dasar, pegangan dan panduan dalam berkehidupan. Islam sendiri panduannya sudah cukup lengkap dari a sampai z, sampai-sampai ada yang merasa tidak tahan karena ini-itu ‘diatur-atur’ agamanya. Tapi jika seorang beragama paham, beriman, percaya Tuhan itu melihat apa-apa yang kita lakukan dan sebaliknya (ihsan); kita pun harus berlaku seakan-akan Tuhan melihat kita, maka (seharusnya) manusia itu nggak akan neko-neko. Lha, Sang Bos sedang mengawasi kita kok, mau macam-macam. Tentu kita harus melakukan yang sebaik-baiknya, menjalankan yang diperintahkan, menjauhi yang dilarang dan mengamalkan yang dianjurkan. Apalagi anak buah Bos ada di kanan dan kiri bahu kita, senantiasa mencatat segala hal yang kita kerjakan. Tidak lupa sama keberadaan malaikat Rakib dan Atid, kan? Tentu kita tidak mau performance appraisal kita buruk di mata Bos. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa orang beriman belum tentu baik, itu sama sekali tidak benar. Menurut saya, yang betul adalah orang beragama belum tentu beriman, sehingga orang beragama belum tentu baik. Ingat; solat rajin, puasa kenceng, naik haji tujuh kali, sedekah seabrek dst, bukan indikasi keimanan seseorang. Contohnya banyak, misalnya Pak Haji pemilik masjid yang memukuli istri (dalam tulisan tentang poligami). Anggota Partai Islam yang korupsi. Pak Udztad yang menganjurkan pemberian sesajian untuk kali ‘yang banyak setannya’ (kisahnya akan segera menyusul). Orang beriman itu, hablumminallah dan hablumminnanas-nya benar dua-duanya. Ibadahnya pol, amalan sunahnya oke, perilaku sehari-hari bernilai A+, hubungan antar manusianya jempolan juga. Contoh paling gampang, ya teladan umat muslim, Nabi Muhammad SAW. Bahkan ketika diludahi orang yang membencinya pun Beliau tetap berbaik hati kepadanya. Coba kalau anak jaman sekarang yang diludahi, udah dibacok kale… Jangankan diludahi, diliatin saja mereka bakal melotot sambil membentak, “Apa lihat-lihat?”

Lalu jangan lah berkata bahwa, “Saya kan bukan Nabi” atau “yang sempurna itu cuma Nabi.” Saya kok jadi gemes jika ada yang berkata demikian. Bukankah adanya nabi-nabi itu untuk menjadi teladan, menjadi contoh umatnya? Memang kita tidak akan menjadi se-sempurna para Nabi, tapi paling tidak, berusahalah kita untuk mendekati ‘kesempurnaan’ mereka semaksimal yang kita bisa. Kalau belum-belum kita sudah menyerah dengan mengatakan bahwa yang hebat itu cuma nabi, itu kan sama dengan mengatakan bahwa manusia biasa nggak akan bisa, ya kapan umat ini akan maju? Kita memang dianjurkan untuk mengikuti teladan mereka, bukan menjadi mereka. Bahkan Nabi SAW pun pernah salah salah dan ditegur Allah, kok. Hal ini menunjukkan bahwa para nabi juga manusia biasa. Hanya saja, keimanan mereka jempolan dan para Rasul diberi mukjizat. Itu saja yang membedakan mereka dengan ‘orang biasa’. Mereka juga menikah dan punya anak. Mereka juga bersedih dan gembira. Mereka ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang sehat dan ada yang sakit. Bahkan penderitaan dan pengorbanan mereka melebihi umat mereka saat ini. Bayangkan saja, jika kita diperintahkan untuk menyembelih anak sendiri seperti Nabi Ibrahim, apa kita bakalan sanggup? Jika kita menentang kaum penyembah berhala (kafir) lalu diancam akan dibakar hidup-hidup, apakah kita akan tetap maju tak gentar? Jika kita dicemooh dan disiksa seperti Nabi Isa, apakah kita akan tabah? Jika kita harus berkorban seluruh harta bahkan nyawa untuk membela agama, apakah kita akan ikhlas 100%? Umat sekarang ini, yang sudah tinggal enaknya, tidak harus berkorban dan berjuang, yang tinggal mengikuti saja; masih saja melanggar, tidak patuh, bilang susah dan mbalelo pula. Contohnya ya saya ini. Disuruh berhijab yang benar, ya masih belum bener juga. Dibilang tidak boleh bergosip, ya kadang masih kebablasan juga. Adzan sudah memanggil-manggil untuk menyegerakan sholat, masih saja menunda-nunda. Mungkin Allah lebih gemes daripada saya…

Kok jadi ngelantur kemana-mana nih. Kesimpulannya, menurut saya agama (dan iman kepada agama) adalah nomer satu dalam segala hal. Lain-lainya, mungkin seperti yang bisa saya kutipkan dari tulisan Sarlito dalam kolom tersebut:

Ringkasnya, keluarga-keluarga sekarang banyak yang sibuk dengan urusan masing-masing. Inilah faktor kunci yang membedakan antara remaja yang beringas dan yang biasa-biasa. Tengoklah anak atau remaja yang dengan perasaan riang setiap hari membantu ibunya menyiapkan sarapan sebelum ke sekolah. Atau anak-anak yang paling senang menunaikan salat maghrib berjamaah, karena ayahnya pasti akan bercerita lucu-lucu dari kantornya. Atau anak-anak yang sering diajak jalan oleh orangtuanya untuk rekreasi pada hari Minggu, dan sebagainya.
Anak dan remaja yang terbiasa dengan kehidupan yang hangat dan penuh kebersamaan dalam keluarga, tidak akan terjebak pada keberingasan atau kebinalan yang sekarang sedang di-trend-kan oleh media massa.

Nah! Itu dia benang merah antara keluarga dan agama. Bukankah keluarga adalah yang harus menanamkan pendidikan agama pada anak sejak dini? Bukankah ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya? Bukankah orangtua sudah harus mulai membiasakan anaknya sholat pada usia 3 tahun? Dan memukul (pantatnya) jika ia tidak mau sholat pada usia 7 tahun? Bukankah orangtua adalah contoh teladan bagi anak-anaknya? Bagaimana mau mengajar anaknya sholat, kalau sholat orangtuanya saja masih blang-bentong. Padahal orangtua nanti akan dimintai pertanggungjawaban atas anak-anaknya di akhirat kelak. Bukankah hanya do’a anak yang sholeh yang dapat meringankan dosa dan jalan orangtuanya di akhirat kelak? Menjadi orangtua itu tidak mudah, ya! So parents, take care our kids carefully…