Redaksi Yth.

Saya ingin menanggapi artikel berjudul “Itjihad untuk Keadilan”, hasil dari diskusi buku yang dimuat di rubrik Swara, Kompas 28 April 2008.

Disebutkan bahwa Musdah Mulia, selaku pembicara dalam diskusi tersebut memaparkan bahwa Nabi Muhammad SAW tiga kali menyatakan keberatan ketika putri beliau hendak dipoligami suaminya. “Hal-hal seperti ini jarang diajarkan pada umat,” kata beliau.

Sayangnya tidak disebutkan alasan apa yang sebenarnya mendasari keberatan Rasulullah tersebut. Nabi SAW sendiri berpoligami, apabila Beliau melarang poligami tentu ucapan dan perbuatannya adalah hujjah (argument). Saya kutip dari situs almanhaj.or.id, Nabi melarang Ali untuk berpoligami disebabkan perempuan yang akan dinikahi tersebut adalah putri Abu Jahl (kaum kafir, musuh Allah SWT).

Nabi bersabda, “Tidak akan berkumpul putri Nabi Allah dengan anak perempuan musuh Allah selama-lamanya” (Syarhu Muslim: 5/313). Dengan demikian, menurut pendapat sebagian ulama hal ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi SAW dengan anak perempuan musuh Allah SWT. Mengumpulkan putri beliau dengan anak perempuan Abu Jahl juga akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi hukumnya haram, berdasarkan ijma’ (Fathul Bari: 9/328).

Hal-hal ini seperti ini pula lah yang jarang diajarkan pada umat. Entah Ibu Musdah Mulia tidak tahu atau lupa atau mungkin Kompas yang tidak memuat keseluruhan hasil diskusi? Bukankah penyajian informasi yang tidak lengkap dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda atas kisah poligami Ali tersebut.