Pak Mario Teguh bilang…
Kita tidak bisa berharap untuk sukses dalam 2 hal. Karena hal itu ibarat mengejar 2 kelinci. Tidak mungkin kan, kelinci-kelinci itu lari ke arah yang sama?
Benar juga, ya. Kata-kata itu pas betul buat saya. Energi dan perhatian saya akan terpecah menjadi 2 sehingga hasilnya tidak akan maksimal. Salah-salah malah tidak ada satu kelinci-pun yang didapat. Lain halnya jika kita fokus untuk mengejar satu kelinci. Seluruh energi dan konsentrasi kita maksimalkan hanya untuk mengejar kelinci itu. Tentu kemungkinan untuk mendapatkannya lebih besar.
Jadi mau-tidak-mau, saya harus memilih. Pilihan saya adalah hal yang saya prioritaskan. Demikian pula saya sebagai seorang ibu, rasanya tidak mungkin bagi saya untuk berkarir dan mengasuh anak sekaligus. Saya di kantor tetapi pikiran saya mengingat anak-anak. Tidak bisa konsentrasi pada pekerjaan. Saya di rumah teringat pekerjaan besok. Tidak bisa fokus momong anak-anak. Saya mengasuh anak saja belum becus, mau dibagi 2 dengan bekerja. I’m not that SUPER. Apa boleh buat, harus ada kelinci yang dikorbankan. Daripada saya sukses tapi anak-anak terlantar. Atau lebih parah; karir gagal, anak-anak juga terlantar. Kalau anak-anak terurus dan karir gagal? Ya kalau tetap nekat kerja berarti akan banyak korupsi yang saya lakukan. Masuk lebih siang, pulang lebih cepat, bolos untuk keperluan anak, dan sebagainya. Malah jadi banyak dosa, anak-anak menjadi fitnah bagi saya. Maka saya memilih mengorbankan pekerjaan dibanding orang-orang yang saya cintai dan mencintai saya.
Hanya sementara. Nanti jika mereka sudah besar dan mandiri, saya akan kembali mencari kesibukan lain… 🙂 Soal rezeki yang hilang karena tidak dapat gaji lagi setelah berhenti kerja? Yah, jangan berburuk sangka pada Allah. Rezeki itu datangnya dari Allah dan Allah yang atur dengan sempurna. Rezeki tidak akan salah pintu. Mungkin rezeki saya akan mengalir melalui pintu rezeki suami saya. Mungkin juga saya mendapatkan rezeki jika memulai pekerjaan baru yang dapat saya atur dari rumah. Wallahu’alam. Banyak juga cerita tentang suksesnya ibu-ibu yang bekerja di rumah. Entah dari bisnis handycraft, katering, OLS, freelance, penulis dan sebagainya. Kan Allah juga yang menganjurkan agar wanita sebaiknya “di rumah” (QS. Al-Ahzab: 33). Bukan berarti wanita yang bekerja itu tidak baik. Dokter wanita apalagi dokter kandungan masih sangat diperlukan pasien. Tapi saya bukan dokter, pekerjaan saya pun tidak menyangkut hajat hidup orang banyak, berkarir bukan buat saya. Maka dengan bismillah saya pun berhenti bekerja (kantoran) demi keluarga dan anak-anak saya. Saya percaya jika kita ikhlas menjalani apa-apa yang dianjurkan-Nya, maka Allah pun akan menunjukkan dan memudahkan jalan, aamiin…
Seperti yang pernah saya katakan kepada seorang teman, anak-anak itu cepat besarnya. Hanya sebentar mereka “membutuhkan” saya. Nanti kalau sudah penuh waktu di sekolah, kembali deh waktu saya “seorang diri”. Mau kerjakan apa saja, bisa. Maka demi waktu mereka yang sebentar itu, saya korbankan waktu saya untuk menemani mereka. Melihat mereka tumbuh berkembang. Saya tidak ingin menyesal, melewatkan waktu-waktu emas mereka tumbuh besar, yang hanya terjadi sekali dan tidak bisa diulang. Saya ingin menjadi yang pertama; yang melihat mereka tersenyum, mendengar celoteh pertama, melihat langkah pertama, mendengar cerita mereka sepulang sekolah, dan sebagainya. Saya ingin melihat dan dilihat mereka sepanjang hari, menemani mereka bermain lego dan puzzle, bukan si mbak. Untuk itu, saya harus memilih. Dan saya bersyukur, saya punya “kemewahan” untuk memilih berhenti bekerja dan menemani anak-anak.
Anak adalah investasi dunia-akhirat (Murni Budiadi)
Artikel terkait:
>> Haruskah Berhenti Bekerja (It’s Baby Time)
>> Prioritas Sang Ibu
24 responses to “Memilih Anak atau Karir”
cakmoki
Maret 21st, 2009 pukul 12:21
Met mengasuh anak-anak *dan anak mertua tentunya* … hehehe
SukaSuka
Viska
April 2nd, 2009 pukul 17:19
whuahuahua… cak dokteeer…
mampir kesini tho! jadi maluuu…
btw ‘ilmu’ blog-nya udah aku praktekin tuh…
tapi krn masih beginner, jadi blog-nya masih cupu… hehehe… 😉
*but, thanks to you anyway!*
SukaSuka
mmurniati
Juli 27th, 2009 pukul 05:10
alhamdulillah. Setuju sekali,Mbak. Semoga istiqomah menjalaninya :). Saya pernah punya dilema serupa yang saya ungkapkan di http://murnis.wordpress.com/category/fitting-in/.
SukaSuka
Viska
Agustus 10th, 2009 pukul 21:57
wow.. suatu kehormatan dikunjungi langsung sama mbak murni.. wah, saya jadi malu nih 😉
tidak mudah menjalani ‘pilihan’ kita ya, mbak, mungkin karena yang lazim saat ini adalah kesetaraan pria dan wanita dalam karir—sehingga wanita jadi ‘wajib’ bekerja dan mengabaikan naluri mereka sebagai ibu yang selalu ingin mendampingi anak-anaknya?
senang rasanya ada “teman seperjuangan”, apalagi yang seperti mbak.. 🙂
SukaSuka
eny k
Agustus 20th, 2010 pukul 13:45
saya benar2 merasa menjadi ibu yg tidak keren, saya punya satu ‘spyderman’ usianya 11 tahun, kami menamainya ‘ahfas’,sebenarnya dia anak yg manis, tapi waktu saya dengannya cuma sedikit karena saya banyak menghabiskan waktu dikantor,… kadang2 sedih juga kalo kepikiran, mungkin suatu saat saya akan menyesalinya…
SukaSuka
Viska
Agustus 21st, 2010 pukul 14:57
aduh mom, jgn sedih dong..
apapun keputusan anda, pasti sudah dipertimbangkan baik-buruk dan segala resikonya kan..
begitupula saya dulu.. jadi jgn sesali dan jalani saja..
sebagaimana saya meng-ikhlaskan “karir” saya, anda pun harus meng-ikhlaskan “waktu” anda bersama ahfas..
jika suatu saat anda menyesal dan apapun konsekuensinya, itu sudah bagian dari resiko yang harus dihadapi..
tentu saja jika ingin berubah selalu masih ada kesempatan 🙂
ok mom?
tetap semangat dan jadilah ibu yang keren buat ahfas!
dgn begitu si little spiderman akan bangga pada anda 🙂
SukaSuka
fitri
Mei 13th, 2011 pukul 11:44
pengen nanti jika si baby udah lahir kebumi seperti mba viska namun sepertinya tetap akan melihat kondisi ekonomi keluarga juga 🙂 jika suami sudah cukup maka saya akan tetapkan hati untuk mengikuti jejak mba viska. doakan ya mba 🙂
SukaSuka
Viska
Mei 13th, 2011 pukul 17:45
amin..
semua itu adalah pilihan dan prioritas, mbak fit..
yang jelas, jangan takut bakal kehilangan rezeki ya, rezeki itu sudah Tuhan atur tidak mungkin bakal salah pintu, asalkan manusia mau berusaha.
mungkin bisa coba freelance atau bisnis yg bisa diatur dari rumah atau internet, atau minimal kerjanya nggak jauh-jauh baget dari rumah gitu.. hehehe..
jangan seperti saya yg belum ‘bergerak’ juga nih, masih jadi blogging mommy saja.. hihihi..
SukaSuka
miyosi chan
September 21st, 2011 pukul 18:16
salam kenal mb, artikelnya bagus
saya belum punya anak mb skalipun udh nikah, tp entah kenapa rasanya berat ninggalin anak, tp karir jg sayang kalau dilepaskan, gimana y mbk? mohon petunjuknya, makasih
SukaSuka
Viska
September 21st, 2011 pukul 20:51
salam kenal juga mbak 🙂
sebagai ibu yg lebih memilih anak, tentu saran saya adalah menomorsatukan anak dong. kita berdoa mohon diberi keturunan, tapi setelah dikabulkan lalu amanah itu kita titipkan pada asisten di rumah? tapi tentu saja prinsip itu tidak bisa diterapkan pada semua keluarga. demikian menurut saya setelah mengamati teman-teman yang lain. ada yg secara finansial mengharuskan suami-istri bekerja. ada juga wanita yg memang banyak ‘manfaat’-nya bagi lingkungan, jadi dia merasa lebih berguna di luar rumah daripada di rumah saja. yg paling ideal menurut saya adalah bekerja dari rumah. anak masih bisa “dipegang” dan pendapatan juga ada. jika suami sudah mencukupi, uang juga bukan yg dicari, namun masih ingin berguna bagi lingkungan; bisa ikut kegiatan sosial atau mengikuti kursus keterampilan. ada seorang teman yg setelah punya anak berhenti dari pekerjaannya di sebuah bank, sekarang malah menemukan kecintaan yg baru pada kegiatan menjahit! setelah ikut kursus dan lebih trampil, sekarang dia berjualan baju yg didesain dan dijahitnya sendiri. saya senang sekali melihat teman-teman sesama pejuang rumah tangga yang sukses “berkarir” dari rumah; meskipun saya sendiri belum berdayaguna apa-apa 😀
jadi coba diskusikan dulu dengan suami, bagaimana baiknya bagi keluarga mbak Miyo. dukungan suami sangat penting lho. karena ternyata ada juga suami yg lebih suka istrinya bekerja daripada di rumah saja. yg terpenting adalah, ikuti kata hati, mbak. nurani nggak pernah bohong. supaya lebih yakin dengan keputusan yang akan diambil, sholat istikharah sampai hati merasa mantap. insyaAllah ditunjukkan yang terbaik. amin.
nanti kalau sudah ada keputusan, kabari saya ya? saya mau tahu ceritanya 🙂
terimakasih sudah mampir ke blog ini yaa..
SukaSuka
rynryn
Oktober 28th, 2011 pukul 21:49
salam kenal mbak viska… 🙂
saya senang membaca blog mba.
kebetulan sy seorang ibu baru yg dilema…, bingung banget mba’ pengen kerja tp pengen jg ngurus baby sy dirumah.., suami-pun lebih senang kl anak kami diurus langsung sm sy..,( kemaren2 baby sy di jaga oleh neneknya selama sy ke kantor ).
baru aja 2 hari sy masuk kerja, neneknya (mertua sy) yg flu udah nularin penyakitnya ke cucu-nya, terpaksa deh sy gak masuk krj selama 5 hari dengan alasan sy yg demam (hufff… :-/), udah gitu, neneknya sembarangan lg ks tetangga untuk menggendong anak saya, parahnya lg menyuruh memberi asi langsung pada anak saya.. (padahal suami sy baru mengambil asi perah sy dikantor yg jaraknya sangat dekat dgn rumah kami), itu baru 2 hari… gmn kalo anak sy saya tinggalkan teruss…
sy ndan suami-pun berat ngomong lansung ke mertua/ibu, karena usianya yg tua dan pikun…
yang membuat sy jg berpikir untuk tetap kerja adalah lingkungan tempat kami tinggal tidak sy sukai, terutama tetangga2 yg krjnya gosip mulu,.., takutnya sy suatu saat sy bosan…
namun sy jg sangat menyayangi anak sy…
membaca blog mba, membuka hati nurani sy untuk mulai membuka diri dan berfikir untuk menjadi ibu rumah tangga…
SukaSuka
Viska
Oktober 30th, 2011 pukul 20:35
salam kenal juga mbak iryn.. 🙂
ahemm.. karena kebetulan aku pro “ibu di rumah” maka tentu isi tulisan-tulisanku yg pro “ibu di rumah”.. hahahaha..
mungkin kalau pas mbak iryn baca blog yg penulisnya pro “ibu bekerja”, ya barangkali lain lagi inspirasinya.. hehehe..
intinya sih ikuti kata hati aja deh mbak.. percuma juga disarankan “A” jika hatinya berkata “B”.. betul?
jika menjalani pilihan berdasarkan keputusan hati, maka rasanya akan lebih lega, ikhlas dan lebih happy tentunya..
masalah ibu, pasti bisa dikompromikan baik-baik deh.. asal kita bicaranya saat suasana sedang enak, tidak dengan nada marah atau menggurui, ibu pasti mengerti.
bosan itu pasti dan tetangga yang suka gosip itu mudah ditemukan dimana-mana.
di kantor juga banyak rekan kerja yg suka gosip kan 🙂
sama seperti yg aku bilang ke anakku, tidak semua orang di dunia baik dan ramah..
ada yg baik, ada yg jahat.. ada yg ramah, ada yg kasar, ada yg pendiam, ada yg suka gosip juga tentunya.. hahahaha
jadi tinggal bagaimana kita-nya aja yg beradaptasi dengan mereka.
kalau diajak menggosip, tidak usah ditanggapi atau alihkan pada topik pembicaran lain.. misalnya ttg anak-anak atau resep masakan..
bosan di rumah saja? cari aktivitas lain..
setelah berhenti bekerja, teman saya menemukan passion lain, yaitu menjahit!
sekarang cloth diaper buatannya sudah mulai dipasarkan..
teman lain ada yang buka katering, meskipun dia tidak bisa masak!
jadi dia mencari juru masak untuk memasak aneka menu, lalu dia sendiri “hanya” tugasnya adalah mencari konsumen, mengawasi proses memasak dan pengiriman katering..
teman lain ada yg olahraga mania! sembari menunggu anaknya pulang sekolah, aktivitasnya berenang dan nge-gym.. selain sehat, badan juga jadi seksi, suami hepi.. hihihihi..
ada juga yg bekerja dari rumah.. ideal sekali! bisa momong anak dan pendapatan tetap mengalir!
seperti mbak miyo yg comment di atas itu, penulis loh, buku-bukunya bisa dicari di toko buku. hebat yaah..
yg nyambi jualan online, omsetnya sudah lebih besar dari gajinya ketika bekerja di sebuah perusahaan otomotif ternama di ibukota.. hohoho..
“ibu di rumah” yg malas? ya aku ini contohnyaa.. hanya jalan-jalan, antar-jemput anak dan blogging.. nyiahahaha 😆
boleeeh juga, asal suami restu.
apapun pilihannya, kalau suami support, tentu lebih enak menjalaninya karena ini kan rumah tangga berdua.
istri bekerja pun suaminya harus support. karena pulang kantor sama-sama capek jadi harus mau berbagi pekerjaan domestik.
wong yg istrinya di rumah saja suaminya tetap harus bantu-bantu rumah.. terutama kalau tidak ada asiaten rumah tangga ya. hehehe
jadi diskusikan lagi dengan suami, keluarga, lalu dengarkan kata hati.. dan putuskan.
semoga menjadi pilihan yg terbaik bagi keluarga mbak iryn.
oiya, waktu memutuskan sambil lihat wajah anak baik-baik yaa..
dijamin tidak akan tega memilih kembali ke kantor… hahahaha.. *kompor* *kabuuur*
oke mbak.. saya tunggu kabar selanjutnya yaa..
salam manis buat anaknya 🙂
SukaSuka
Wiwid Honey
Maret 17th, 2012 pukul 14:30
terimakasih, sangat menginspirasi… 🙂
SukaSuka
Viska
Maret 20th, 2012 pukul 23:08
trims mbak.. go follow your heart 🙂
SukaSuka
yuni
September 4th, 2012 pukul 12:49
Saya baru 5 bulan menikah.. tp saya pengeeen sekali kalau uda punya anak resign dr kantor… rasanya pengen sekali selalu mlihat perkembangan anak..
SukaSuka
Viska
September 7th, 2012 pukul 13:06
you will choose the best for you and family. don’t worry 🙂
SukaSuka
Dwi Oktarina H. Mustiawati
April 18th, 2013 pukul 15:02
Met kenal..
Thanks sharingnya. Saya lagi dilema tentang hal itu. Dan kondisi kita hampir sama, PNS dan ada kekhawatiran keuangan juga.
Makasih sharingnya 🙂
SukaSuka
Viska
April 21st, 2013 pukul 00:39
Salam kenal juga 😉
Seandainya saya bisa bilang “Katanya kerja cari duit demi anak, mestinya bisa juga dong berhenti kerja demi anak.” Tapi tidak bisa, ya. Setiap rumah tangga punya kondisi yang berbeda. Namun saya tetap lebih menyukai prioritas menjadikan anak nomor satu dibanding hal lain.
Berhenti kerja tidaklah mudah, terutama jika menyangkut masalah finansial. Mungkin bisa dirembuk bersama suami bagaimana jalan keluar yang terbaik. Jika ibu masih harus bekerja, masih lebih baik ada kakek/nenek di rumah yang menjaga mereka dibandingkan hanya berdua dengan pengasuh saja, misalnya.
Solusi lain yang tidak gampang tapi bisa dicoba yaitu berwirausaha. Mungkin bisa dirintis dari awal hingga kira-kira bisa diandalkan untuk menggantikan pekerjaan di kantor. Paling mudah sih jualan online di facebook. Barang dagangannya bisa apa saja! Coba saja lihat teman-teman yang berjualan di facebook 🙂
Well, apapun keputusannya nanti, pasti yang terbaik untuk keluarga. Selamat menimbang ulang ya, terima kadih sudah mampir di sini 🙂
SukaSuka
sheila sri yunita
Februari 9th, 2014 pukul 22:51
Hmmmm sengaja googling buat mantepin hati. Saya ini seorang PNS bidan, saya bekerja di rumah sakit umum pusat yang pasiennya subhanalloh banyaknya, saya bekerja terjadwal shift, pagi-sore-malam, klo dapet shift pagi, saya musti bangun nyubuh slagi anak dan suami masih tertidur, saya pergi mereka masih tidur, saya pulang suami sudah pergi, klo dapet dines sore, saya pergi anak cuma mlongo, kadang nangis dan gtau brentinya kapan, yg paling dilematis klo dapat shift malam, anak musti ngeASI lewat dot, bangun bisa 3-4 kali, klo lg sakit bisa lebih sering, yg jaga nenenya, ikut bergadang. Saya sering bgt izin kerja karena soal anak, sering juga mikir buat brenti saja. Suami ga pernah ngelarang saya kerja, ngedukung juga ga begitu, apalagi klo dpt shift malam, dua2nua musti sya tinggalin, hanya saja orang tua saya yang keukeuh saya musti bekerja, alasan mreka karena suami sya wiraswasta, biar tenang,begitu mereka bilang. Sya juga sering melewatkan momen2 penting bersama keluarga besar, misal di tanggal merah, weekend, ato bahkan di hari raya, sudah 3taun saya bekerja 3 x juga saya tidak pernah berlebaran di kampung halaman, di hari libur bahkan lebaran saya tetap bekerja, miris, sedih, gamang……yg sering terulang setiap hari minggu pun saya bekerja, tidak ada weekend di kamus kami bidan2 disni….. skrg anak msh kecil baru 11 bulan masih belum begitu mengerti jika saya tinggalkan, kebayang sja jika dia sudah pandai bicara sudah tertebak pertanyaannya ketika sya hendak bekerja,,,,,,,,, sya perlu memantapkan hati mba viska…… saya butuh pencerahan dan dukungannya mba……..
SukaSuka
Viska
Februari 11th, 2014 pukul 09:41
Windaaa… *colek Winda*
Halo Sheila! Waduh aku ngebacanya jadi ikut terbayang gimana rasanya kamu mengalami itu setiap hari 😦 lalu jadi ingat kata-kata ibu Ainun Habibie (di film Ainun dan Habibie) ketika beliau berhenti dari pekerjaannya sebagai dokter anak; sibuk mengurusi anak orang lain tapi anak sendiri tidak terurus 😦 insight itu didapat ketika beliau sedang praktek dan dapat telepon dari rumah kalau anaknya sakit. Duh, dilema semua ibu bekerja, ya..
Sekarang semua kembali ke Sheila.. Apa kamu sudah siap dan yakin dengan pilihan ini? Seperti yang aku tulis buat Winda, yang paling penting, suami mendukung. InsyaAllah rejeki nggak akan tertukar, bisa datang lewat pintu yang mana saja. Nggak harus jadi PNS juga bisa dapat rejeki kan, asal mau berusaha. Profesi yang membutuhkan keahlian khusus seperti dokter, bidan, menurut aku tidak perlu takut nganggur. Bahkan sepupu yang eks-guru pun sekarang setelah anaknya besar dan bisa ditinggal, dia nyambi jadi guru les.
Siapa tahu Sheila nanti bisa buka praktek sendiri, yang waktunya tidak terikat jam kantor. Jadi bisa tetap merawat anak sekaligus tetap bekerja. Karena insyaAllah jika tetap bekerja pun akan menjadi ibadah dan menambah pahala, sebab menurut aku pekerjaan Sheila sebagai bidan itu masyaAllah luar biasa mulianya.
Sheila, hati nggak akan bohong. Just follow your heart 🙂 apapun pilihannya tapi kalau hati nggak ikhlas, akan berat menjalaninya. Demikian ya, insyaAllah apapun jalan yang dipilih semoga dimudahkan Allah, aammiin ya Rabbal a’lamin 🙂
SukaSuka
FITRIAWATI
September 3rd, 2015 pukul 16:07
Alhamdulilah…saya semakin yakin sekarang..anak yg harus jadi prioritas…
terimakasi Mba…
SukaSuka
Viska
September 11th, 2015 pukul 17:06
Alhamdulillah… Jalan mana pun yang dipilih, nggak ada yang mudah.. Tapi insyaAllah jika kita mantap menjalankannya akan ada jalan 🙂 Selamat berjuang!
SukaSuka
Anindyanti novita tiesa
November 20th, 2015 pukul 09:43
wah artikel ini memberi pencerahan sekali ya, ijin share di facebook ya mbak 🙂
SukaSuka
Viska
November 20th, 2015 pukul 16:09
Hehehe… topik ibu bekerja atau di rumah adalah topik yang nggak akan selesai diperdebatkan sampai akhir zaman kayaknya 😀 harap diingat, tulisan ini subjektif dan pendapatnya bersifat pribadi.. lalu bersiaplah untuk mendapat argumen dari ibu bekerja 🙂
SukaSuka