Archive for Januari 6th, 2009

Sunat Perempuan…


Beberapa waktu lalu forum membahas sunat perempuan. Awalnya sih nggak pengen ikut-ikutan, tapi trus… ada anggota yang ‘suaranya cukup berpengaruh’ ikut berkomentar tentang (manfaat) sunat perempuan-salah satunya, meng-i’tidal-kan syahwat- adalah ‘tidak ilmiah’.

Lalu ada postingan artikel lagi, menyebutkan bahwa sunat perempuan itu anjuran atau keharusannya tidak jelas. Ada lagi yang menulis, bahwa hadisnya Abu Dawud itu mursal, yaitu hadis yang kehilangan mata rantai riwayat karena tidak ditemukan di antara para sahabat Nabi. Selain itu, hadis ini hanya ada dalam Abu Dawud dan tidak ada dalam kompilasi hadis terkemuka lainnya.

Lho.. padahal haditsnya shahih. Coba lihat ya, berikut haditsnya:

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Athiyah (wanita tukang khitan):

أُخْفُضِي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ أَحْضَى لِلْزَوْجِ

“Artinya : Khitanlah dan jangan dihabiskan (jangan berlebih-lebihan dalam memotong bagian yang dikhitan) karena yang demikian lebih cemerlang bagi wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami” [Shahih, Dikeluarkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291)].

Biasa itu ada pro dan kontra. Tapi gatel juga baca postingan kok semua yang tentang ‘negatif’-nya sunat perempuan. Pengen juga nih posting artikel SP yang isinya tentang sunat perempuan yang ‘positif’, supaya info yang keluar berimbang. Tinggal yang baca memilih, mau percaya yang mana. Dulu juga sunat pada laki-laki belum ada bukti ilmiahnya, tapi ya dilaksanakan juga kan. Setelah berabad lamanya baru terbukti secara medis. Kolom komentar di bawah sudah jadi thread panjang tentang manfaat dari sunat perempuan. Mungkin perlu ditulis postingan tentangnya juga nih.

Berikut artikel tentang sunat perempuan dicopas dari almanhaj. Beberapa poin penting:

Sunat perempuan itu bagian dari syariat Islam. Tidak usah membantah apalagi membencinya.

• Sunat perempuan sifatnya menyempurnakan.

• Merupakan kehormatan bagi perempuan.

• Jika ada bagian yang dikhitan, maka sebaiknya dikhitan. Jadi kalau nggak ada, nggak dikhitan juga nggak apa-apa.

Tentang khitan/sunat bisa dibaca juga di sini.

http://www.almanhaj.or.id/content/851/slash/0
Kamis, 24 Juni 2004 21:12:39 WIB

HUKUM KHITAN
Oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur’ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.

Hukum khitan ini umum bagi laki-laki dan wanita, hanya saja ada sebagian wanita yang tidak ada pada mereka bagian yang bisa dipotong ketika khitan yaitu apa yang diistilahkan klitoris (kelentit). Kalau demikian keadaannya maka tidak dapat dinalar bila kita memerintah mereka untuk memotongnya padahal tidak ada pada mereka.

Berkata Ibnul Hajj dalam Al-Madkhal (3/396) :
“Khitan diperselisihkan pada wanita, apakah mereka dikhitan secara mutlak atau dibedakan antara penduduk Masyriq (timur) dan Maghrib (barat). Maka penduduk Masyriq diperintah untuk khitan karena pada wanita mereka ada bagian yang bisa dipotong ketika khitan, sedangkan penduduk Maghrib tidak diperintah khitan karena tidak ada bagian tersebut pada wanita mereka. Jadi hal ini kembali pada kandungan ta’lil (sebab/alasan)”.

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud fi Sunnatil Muththarah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak dalam Sunnah yang Suci, hal 110-112 Pustaka Al-Haura]

http://www.almanhaj.or.id/content/800/slash/0
Kamis, 10 Juni 2004 10:11:08 WIB

HUKUM KHITAN BAGI WANITA

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : “Apakah khitan (sunat) bagi wanita itu hukumnya wajib ataukah sunnah yang disukai saja ?”

Jawaban.
Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya dalam satu hadits, anjuran beliau untuk menyunat wanita. Beliau juga memerintahkan wanita yang menyunat untuk tidak berlebihan dalam menyunat. Tapi dalam masalah ini berbeda antara suatu negeri dengan negeri-negeri lainnya.

Kadang-kadang dipotong banyak dan kadang-kadang hanya dipotong sedikit saja (ini biasanya terjadi di negeri-negeri yang berhawa dingin). Jadi sekiranya perlu dikhitan dan dipotong, lebih baik di potong. Jika tidak, maka tidak usah di potong.

[Disalin dari Kitab Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, hal 162-163, Pustaka At-Tauhid]

HUKUM KHITAN BAGI ANAK PEREMPUAN

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ ditanya : “Apa hukum khitan bagi anak perempuan, apakah termasuk sunnah atau makruh?”.

Jawaban.
Khitan bagi wanita disunnahkan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallalalhu ‘alaihi wa sallam bahwa sunnah fitrah itu ada lima, di antaranya khitan. Juga berdasarkan riwayat Khalal dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Khitan itu merupakan sunnah bagi para lelaki dan kehormatan bagi para wanita”

[Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta’ 5/119]

SALAHKAH TIDAK MELAKUKAN KHITAN ?

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ : “Saya mendengar khatib di masjid kami berkata di atas mimbar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalalkan khitan bagi para wanita. Kami berkata kepadanya bahwa wanita-wanita di daerah kami tidak dikhitan. Bolehkan seorang wanita tidak melakukan khitan ?”

Jawaban.
Khitan bagi wanita merupakan kehormatan bagi mereka tapi hendaknya tidak berlebihan dalam memotong bagian yang dikhitan, berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Sunnah-sunnah fitrah itu ada lima ; khitan, mencukur bulu kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak”
[Muttafaq Alaih]

Hadits ini umum, mencakup lelaki dan perempuan.

[Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta’ 5/119,120]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-3 hal 121-122 Darul Haq]

POLEMIK KHITAN WANITA

Penting dibaca! Sila klik https://muslim.or.id/11314-polemik-khitan-wanita.html

Khitan/Sunat dalam Islam


Postingan ini disarikan dari buku yang saya baca, “Menanti Buah Hati” karangan Abdul Hakim bin Amir Abdat (2001). Saya kira isinya cukup valid, karena bahan acuan dan rujukannya banyak dan lengkap.

FAEDAH KHITAN
1. Mengikuti sunahnya nabi dan rasul.
2. Khitan merupakan salah satu syi’ar dari syi’ar-syiar Islam yg besar. Jika dalam agama Kristen ada baptis, maka dalam Islam ada khitan.
3. Khitan sebagai pembeda antara yg muslim dan yg bukan muslim, sehingga senantiasa terkait dengan keislaman seseorang.
4. Khitan sebagai kebersihan dari najis dan kotoran.
5. Meng-i’tidal-kan (menstabilkan) syahwat. Ini keistimewaan khusus bagi perempuan, apabila dilakukan dengan benar sebagaimana yg diperintahkan Nabi SAW. Jelasnya, perempuan apabila tidak di khitan maka syahwatnya akan tinggi sekali, sukar untuk diatasi – kalau tidak mau dikatakan tidak dapat diatasi sama sekali. Tetapi apabila di khitan, maka syahwatnya akan melemah dan dia akan dingin terhadap jima’. Sebaliknya, yg tidak dikhitan akan membawa perempuan tersebut menjadi ‘liar’ dan tidak akan pernah merasa cukup ber- jima’ dengan suaminya.
(note: nampaknya cukup menarik sebagai bahan penelitian, ya… supaya bisa dibilang ‘ilmiah’!)

Oleh karena itu, Nabi SAW memerintahkan Ummu ‘Athiyyah, ” Apabila engkau mengkhitan (perempuan), potonglah sedikit bagian kulit/klentitnya dan jangan engkau potong semuanya, karena sesungguhnya yang demikian itu akan mencemerlangkan wajah(nya) dan lebih baik (yakni lebih memuaskan, baik banyak dan nikmatnya) bagi suami.” (dari Anas bin Malik)

Hadis ini telah dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Silsilah Al Ahaadits Ash Shahihah (jilid 2 no.722) dari beberapa jalan dan syawaahid-nya dari hadis Ali dan Qais bin Dhahak dll. Sedangkan hadis Anas di atas dikeluarkan oleh Ad Dulabiy di kitabnya Al Kuna dan Al Khatib Baghdadiy dalam Tarikh dan Thabraniy di Mu’jam Ausath. Masalah ini dapat diperiksa dalam kitab2 : Fat-hul Baari Syarah Hadits no.5889, Syarah Muslim Imam Nawawi juz 3 hal.148 , lisanul Arab Ibnul Mandzur (1/791), Tuhfatul Maudud bab IX pasal 1.

HUKUM KHITAN
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW sesungguhnya beliau bersabda, “Fithrah itu ada lima perkara: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, menggunting kuku, mencukur bulu ketiak.” (lima perkara ini termasuk bagian fitrah selain masih banyak lagi yg tidak terbatas hanya lima macam)

Hadis ini hukumnya shahih, dikeluarkan Bukhari no.5889, Muslim (1/53), Abu Dawud (no. 4198), Tirmidzi (4/184), Nasa’i (1/13,14,15 juz 8 hal.181), Ibnu Majah (no.292) dan Ahmad (2/229,239,283,410,489).

Al Imam Ibnu Qayyim dalam Tuhfah (bab IX pasal 3) menjelaskan bahwa fithrah ada 2 macam. Pertama fithrah ma’rifatullah (berkaitan dengan hati) yaitu mencintai-Nya serta mengutamakan-Nya lebih dari yang selain-Nya. Faedahnya mensucikan ruh dan membersihkan hati. Kedua, fithrah amaliyah (perbuatan) yaitu beberapa macam yang tersebut di atas. Faedahnya, membersihkan badan. Keduanya saling menguatkan dan melengkapi. Dan ketua dari fithrah badan adalah khitan.

Berdasarkan dalil-dalil dalam kitab tersebut, maka jumhur ulama seperti Malik dan Syafi’iy dan Ahmad dll mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib. Kewajiban ini bersifat umum untuk laki2 dan perempuan, tidak ada perbedaan.

Khitan bagi perempuan telah dilaksanakan pada jaman Nabi SAW berdasarkan beberapa alasan, di antaranya :
1. Berkata ‘Aisyah bahwa telah bersabda Rasulullah SAW “…dan telah bersentuh khitan (laki-laki) dan khitan (perempuan), maka sesungguhnya telah wajib mandi.” (hadis shahih riwayat Muslim juz 2 hal.187 dll). Bersentuh di sini maksudnya jima’, yang berarti baik alat kelamin laki-laki maupun perempuan telah dikhitan.
2. Sabda Nabi SAW kepada Ummu ‘Athiyyah, “Apabila engkau mengkhitan (perempuan)…” (hadis pada masalah pertama)
Hal ini menunjukkan bahwa adanya para pengkhitan perempuan pada jaman Nabi SAW, yang berarti khitan bagi perempuan di jaman tersebut merupakan suatu kelaziman dan keharusan.

WAKTU KHITAN
Bagi perempuan umumnya dilakukan kaum muslimin satu/beberapa hari setelah kelahirannya ( Tuhfatul Maudud bab IX pasal 5 dan 6, Fat-hul Baari’ no.5889).

BERKHITAN KETIKA DEWASA
Apabila seorang laki-laki atau perempuan belum ber-khitan sampai umur dewasa atau tua disebabkan belum mengetahui hukum wajibnya atau dia baru masuk Islam, maka kewajiban khitan tetap ada padanya dan tidak gugur selama dia mampu melakukannya (Tuhfatul Maudud bab IX pasal 11 dan 12).

Dalil dalam masalah ini adalah hadis tentang Nabi Ibrahim yang ber khitan pada usia 80 tahun dengan alat yang biasa dipakai tukang kayu (dari Bukhari Fat-hul Baari’ no.3356 dan 6298 dan Muslim (juz 7 hal.97). Jika tidak wajib tentu Allah SWT tidak akan perintahkan kepada hamba-Nya yang telah demikian tuanya.