Postingan ini disarikan dari buku yang saya baca, “Menanti Buah Hati” karangan Abdul Hakim bin Amir Abdat (2001). Saya kira isinya cukup valid, karena bahan acuan dan rujukannya banyak dan lengkap.

FAEDAH KHITAN
1. Mengikuti sunahnya nabi dan rasul.
2. Khitan merupakan salah satu syi’ar dari syi’ar-syiar Islam yg besar. Jika dalam agama Kristen ada baptis, maka dalam Islam ada khitan.
3. Khitan sebagai pembeda antara yg muslim dan yg bukan muslim, sehingga senantiasa terkait dengan keislaman seseorang.
4. Khitan sebagai kebersihan dari najis dan kotoran.
5. Meng-i’tidal-kan (menstabilkan) syahwat. Ini keistimewaan khusus bagi perempuan, apabila dilakukan dengan benar sebagaimana yg diperintahkan Nabi SAW. Jelasnya, perempuan apabila tidak di khitan maka syahwatnya akan tinggi sekali, sukar untuk diatasi – kalau tidak mau dikatakan tidak dapat diatasi sama sekali. Tetapi apabila di khitan, maka syahwatnya akan melemah dan dia akan dingin terhadap jima’. Sebaliknya, yg tidak dikhitan akan membawa perempuan tersebut menjadi ‘liar’ dan tidak akan pernah merasa cukup ber- jima’ dengan suaminya.
(note: nampaknya cukup menarik sebagai bahan penelitian, ya… supaya bisa dibilang ‘ilmiah’!)

Oleh karena itu, Nabi SAW memerintahkan Ummu ‘Athiyyah, ” Apabila engkau mengkhitan (perempuan), potonglah sedikit bagian kulit/klentitnya dan jangan engkau potong semuanya, karena sesungguhnya yang demikian itu akan mencemerlangkan wajah(nya) dan lebih baik (yakni lebih memuaskan, baik banyak dan nikmatnya) bagi suami.” (dari Anas bin Malik)

Hadis ini telah dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Silsilah Al Ahaadits Ash Shahihah (jilid 2 no.722) dari beberapa jalan dan syawaahid-nya dari hadis Ali dan Qais bin Dhahak dll. Sedangkan hadis Anas di atas dikeluarkan oleh Ad Dulabiy di kitabnya Al Kuna dan Al Khatib Baghdadiy dalam Tarikh dan Thabraniy di Mu’jam Ausath. Masalah ini dapat diperiksa dalam kitab2 : Fat-hul Baari Syarah Hadits no.5889, Syarah Muslim Imam Nawawi juz 3 hal.148 , lisanul Arab Ibnul Mandzur (1/791), Tuhfatul Maudud bab IX pasal 1.

HUKUM KHITAN
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW sesungguhnya beliau bersabda, “Fithrah itu ada lima perkara: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, menggunting kuku, mencukur bulu ketiak.” (lima perkara ini termasuk bagian fitrah selain masih banyak lagi yg tidak terbatas hanya lima macam)

Hadis ini hukumnya shahih, dikeluarkan Bukhari no.5889, Muslim (1/53), Abu Dawud (no. 4198), Tirmidzi (4/184), Nasa’i (1/13,14,15 juz 8 hal.181), Ibnu Majah (no.292) dan Ahmad (2/229,239,283,410,489).

Al Imam Ibnu Qayyim dalam Tuhfah (bab IX pasal 3) menjelaskan bahwa fithrah ada 2 macam. Pertama fithrah ma’rifatullah (berkaitan dengan hati) yaitu mencintai-Nya serta mengutamakan-Nya lebih dari yang selain-Nya. Faedahnya mensucikan ruh dan membersihkan hati. Kedua, fithrah amaliyah (perbuatan) yaitu beberapa macam yang tersebut di atas. Faedahnya, membersihkan badan. Keduanya saling menguatkan dan melengkapi. Dan ketua dari fithrah badan adalah khitan.

Berdasarkan dalil-dalil dalam kitab tersebut, maka jumhur ulama seperti Malik dan Syafi’iy dan Ahmad dll mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib. Kewajiban ini bersifat umum untuk laki2 dan perempuan, tidak ada perbedaan.

Khitan bagi perempuan telah dilaksanakan pada jaman Nabi SAW berdasarkan beberapa alasan, di antaranya :
1. Berkata ‘Aisyah bahwa telah bersabda Rasulullah SAW “…dan telah bersentuh khitan (laki-laki) dan khitan (perempuan), maka sesungguhnya telah wajib mandi.” (hadis shahih riwayat Muslim juz 2 hal.187 dll). Bersentuh di sini maksudnya jima’, yang berarti baik alat kelamin laki-laki maupun perempuan telah dikhitan.
2. Sabda Nabi SAW kepada Ummu ‘Athiyyah, “Apabila engkau mengkhitan (perempuan)…” (hadis pada masalah pertama)
Hal ini menunjukkan bahwa adanya para pengkhitan perempuan pada jaman Nabi SAW, yang berarti khitan bagi perempuan di jaman tersebut merupakan suatu kelaziman dan keharusan.

WAKTU KHITAN
Bagi perempuan umumnya dilakukan kaum muslimin satu/beberapa hari setelah kelahirannya ( Tuhfatul Maudud bab IX pasal 5 dan 6, Fat-hul Baari’ no.5889).

BERKHITAN KETIKA DEWASA
Apabila seorang laki-laki atau perempuan belum ber-khitan sampai umur dewasa atau tua disebabkan belum mengetahui hukum wajibnya atau dia baru masuk Islam, maka kewajiban khitan tetap ada padanya dan tidak gugur selama dia mampu melakukannya (Tuhfatul Maudud bab IX pasal 11 dan 12).

Dalil dalam masalah ini adalah hadis tentang Nabi Ibrahim yang ber khitan pada usia 80 tahun dengan alat yang biasa dipakai tukang kayu (dari Bukhari Fat-hul Baari’ no.3356 dan 6298 dan Muslim (juz 7 hal.97). Jika tidak wajib tentu Allah SWT tidak akan perintahkan kepada hamba-Nya yang telah demikian tuanya.