10/07/08
Simply because Al-Qur’an said so, Allah SWT told you so. Rasulullah SAW told you so. Datang ke pesta ada dresscode-nya, kita nurut, mau pakai sesuai aturan. Kalau belum punya bajunya, dibisa-bisakan beli. Masa dresscode dari Allah kita nggak mau berusaha mengikuti? Aturan manusia, ikut. Aturan dari pencipta manusia, ngeyel? Hayo dipikir coba bener nggak itu.
Beberapa ayat Al-Qur’an tentang perintah berjilbab (menutup aurat) adalah sbb:
QS. Al-A’raf: 26, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
QS. Al-Ahzab: 59, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.”
QS. AL-Ahzab: 33, “Dan hendaklah engkau tetap di rumahmu dan janganlah berhias serta bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu.”
QS. An-Nuur: 31, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Lebih spesifik pada ayat pertama surat An-Nuur (QS. 24: 1) yang mendahului ayat-ayat lain, Allah SWT sudah mengingatkan, “(Ini adalah) satu surat yang kami turunkan dan kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya.” Hal ini berarti hukum-hukum yang berada di surat itu adalah wajib.
Lalu jika ada yang mengatakan bahwa menutup aurat itu tidak wajib, jilbab itu bersifat urgensi, saya tidak tahu tafsirannya bagaimana 😕 .
Tadinya saya juga mau menulis hadis-hadisnya juga. Tapi kok ternyata banyak sekali… Tapi yah, kalau dalam Qur’an saja perintahnya sudah tersebut sebanyak itu (belum lagi hadis-hadis shahih penguatnya) menurut saya sudah lebih dari cukup untuk dikatakan bahwa berjilbab, berhijab (menutup aurat itu wajib). Dalam QS. Al-Ahzab: 36 pun, sudah jelas dikatakan bahwa, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.”
Suka tidak suka, mau tidak mau, ya harus dilaksanakan. Mungkin karena itu sehingga ada yang bilang bahwa Islam itu agama yang suka maksa. Saya pikir kalau manusia itu ikhlas, tawaqqal dan iman, pastinya ya tidak akan merasa dipaksa. Apalagi kalau memahami (walaupun belum sepenuhnya mengerti) bahwa apa yang disyariatkan itu adalah untuk kebaikan manusia juga, maka pasti manusia akan melaksanakan perintahnya dengan senang hati. Seperti halnya kisah para perempuan Anshar dari kaum Muhajirin (ikut hijrah) pertama yang disayangi Allah SWT karena ketaatannya, ketika datang ayat QS. AN-Nur: 31, mereka langsung menyobek kain wolnya untuk dijadikan kerudung (Shahih Bukhari Bisyahril Karmani, Juz XVIII, p.26-27). Hebat betul. Bahkan tidak pakai bertanya lagi kenapa harus melakukan suatu hal yang (pada saat itu) tidak umum. Bandingkan dengan saya yang bahkan (katanya) sudah paham perintah dalam Al-Qur’an dan hadis, tapi masih belum puas dan bertanya untuk mencari pembenarannya dulu sebelum melaksanakan. “Kalau memang wajib, kenapa tidak disebutkan dalam rukun Islam dan iman sekalian sih,” bantah saya dulu. “Lha kalau disebutkan semua rukunnya jadi banyak banget dong,” kata suami saya, “Lagipula rukun-rukun itu kan sudah merangkum dari inti keseluruhannya.” Yaa… Iya juga sih. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, yang namanya IMAN itu berarti percaya dan yakin, dengan segala yang ada dalam Islam. Baik itu ajaran, syariat, perintah, larangan, anjuran dan sebagainya.
Rasulullah SAW sudah pernah bersabda bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir (HR Muslim 8/210). Kalau tidak mau ‘dipaksa’, tidak mau ‘terpenjara’ dalam sederet aturan dan syariat (Islam)? Ya, jangan memilih Islam… Apalagi perintahnya banyak betul. Tapi seperti yang sudah sering saya tulis, Islam itu agama satu paket. Keseluruhan isi paketnya harus dilaksanakan, tidak bisa pilih-pilih. Namanya juga perintah (dan larangan) dari Yang Menciptakan kita dan hukumnya wajib. Perintah dari bos saja kalau tidak dilaksanakan, kita takut dipecat. Atau paling tidak kena sanksi deh atau pengurangan bonus, penurunan nilai performance, dst. Lah kalau perintah dari Tuhannya manusia dan semua makhluk, pemilik kehidupan, Bos dari segala bos, kok manusia berani mangkir? Manusia itu betul-betul nekat. Tidak takut dengan sanksinya Tuhan. Apa karena surga dan neraka itu tidak nyata ya. Tapi kalau begitu kembali lagi ke masalah iman dong (masih ingat rukun iman: percaya kepada hari akhir?). Tapi itu juga manusia masih bisa berkelit pulak dengan mengatakan bahwa manusia itu memang tempatnya salah dan dosa, kok. Weh-weh-weh… Sudah diberi akal, bahkan ada pula yang sudah diberi kelebihan daripada yang lain, tapi malah menggunakan kepintarannya untuk mempertanyakan dan menyangsikan ayat-ayat Allah. Bingung, kan… Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang sesat seperti dalam surat Al-Ahzab itu yaa…
Wallahu’alam bissawab
Baca juga yang ini:
Kenapa Berjilbab (1)
Kenapa Tidak Berjilbab?
Ikhlas untuk Berjilbab
Jilbab dalam “My Name is Khan”
Manfaat Berjilbab
Jilbab BUKAN Masalah Khilafiah
57 responses to “Kenapa Berjilbab (2)”
ali mahfudz
Januari 23rd, 2009 pukul 21:40
jika orang bilang lelaki itu buaya. mungkin bisa dibenarkan akan kata-kata itu. tapi kalian gak usah ciut lihatlah seekor buaya jinak ataupun tidak tetap aja buaya. tapi buaya tidak ada yang memangsa mangsanya tanpa ada kesempatatan, karna sekenyang-kenyangnya kucing masih dimakan juga jika dihadapin seonggok daging segar, n untukmu kaum hawa lihatlah di tv, bacalah di koran, dengarlah diradio, dan dimanapun kamu bisa dapat berita. coba kamu lihat wanita korban pemerkosaaan kebanyakan para wanita yang tidak mau menerima perbedaan antara lelaki dan wanita, dia begitu berani dalam melangkah, bergaul tanpa merasa kikuk. kalian harus ingat syetan akan terus membayangi langkah kalian tatkala laki-laki dan wanita bersama.
SukaSuka
Viska
Januari 26th, 2009 pukul 15:07
waaah!
sebuah pernyataan yang jujur dari seorang laki-laki nih!
ladies, beware of these ABCs!
note:
ABC = Aligator-Buaya-Crocodile
SukaSuka
belajaragamaislam
Maret 7th, 2009 pukul 11:32
Assalamualaikum, wah syukron, postingannya benar2 membantu saya tentang hukum dan kewajiban berjilbab. keep istiqomah ya amah….
SukaSuka
Viska
Maret 13th, 2009 pukul 11:51
wa’alaikumsalam… semoga bermanfaat… jika ada yg masih salah-salah, bisa ditambahkan… maklum, masih belajar juga… heheh…
SukaSuka
Moh.Muzakin.H
Mei 21st, 2009 pukul 00:39
Ironi sekali wanita sekarang menganggap jilbab adalah kekangan.,dg brbagai alasan mrka enggan berjlbab,blm siaplah,yg pntg bersih hatinya lah.,hati yg mana?
Wallahu a’lam bissyowab!
SukaSuka
Viska
Mei 25th, 2009 pukul 11:02
yah, begitulah, pak.. bagi mereka (saya juga dulu, mungkin skrg masih sedikit.. he), gempuran budaya luar dan lingkungan lebih besar pengaruhnya daripada ajaran islam. mungkin kurang pengetahuan, kurang paham, mungkin akhirnya balik lagi ke masalah iman.. hehe..
SukaSuka
nyzriel
April 13th, 2010 pukul 03:50
assalamu alaikum.. salam kenal bu ..syukron ya dan ana mohon izin ngopy nya untuk pengetahuan bagi muslimah lainnya….slaam kenal dari cairo mesir
SukaSuka
Viska
April 15th, 2010 pukul 10:27
wa’alaikumsalam wr wb..
salam kenal juga, nyz.. jauh-jauh dari cairo sampai juga ke blog saya 🙂
silakan di-copy.. semoga membawa manfaat, aminnn…
wassalam..
SukaSuka
asianto
Agustus 25th, 2010 pukul 04:45
ijin ngopy jg ya ukhti untuk dakwah kpd para wanita
SukaSuka
Viska
Agustus 25th, 2010 pukul 12:55
monggo silakan..
semoga manfaat ya 🙂
SukaSuka
AISYAH
Oktober 5th, 2010 pukul 11:34
subbhanallah… berbahagialah bagi mereka yg menutup aurat
“Luar Dalam”
SukaSuka
Viska
Oktober 6th, 2010 pukul 10:04
betul banget mbak..
saya juga kagum sama muslimah yg santun; penampilan, perkataan, perbuatannya.. wow.. saya sendiri masih ‘celamitan’ begini.. hehehe.. harus masih banyak belajar pengendalian diri 🙂
SukaSuka
agung
Oktober 14th, 2010 pukul 09:56
Assalamualaikum…. subhanaallah masih ada kaum muda yang perduli dan berbagi tentang ilmu Allah, dijaman yg serba bebas tak beriman ini, terus berjuang bu, saya butuh orang2 seperti ibu (berilmu dan mau berbagi) dalam mendidik anak dan istri saya (kalo bisa orang terdekat lainnya juga), dan mohon ijinnya juga untuk meng-copy tulisan2 ibu yang saya butuhkan. Dan sedikit masukan bu, bajunya (yg difoto) masih ketat, maaf kalo saya salah lihat.
Terimakasih.
SukaSuka
Viska
Oktober 15th, 2010 pukul 11:15
wa’alaikumsalam wr wb..
waduh, pak agung berlebihan sekali pujiannya, nanti saya ge-er lho.. hehehe..
saya cuma orang biasa yang sedang belajar agama dan ingin berbagi pemikiran saya kepada yang lain..
syukur alhamdulillah jika ada manfaatnya..
terima kasih masukannya, pak..
bajunya nggak ketat pak, cuma longgar saja, tapi juga nggak gombrong sekali sih..
itu foto jaman awal-awal pakai jilbab, masih asal “menutup aurat”.. hehe..
mau ganti profile picture, tapi udah lupa bagaimana caranya upload di wordpress.. hahaha..
terima kasih sudah mampir dan membaca 🙂
SukaSuka
st.maryam
Mei 12th, 2011 pukul 19:22
izin ngopy ya ukhty, smg bs jd bacaan tuk kau hawa. jazakillah
SukaSuka
Viska
Mei 13th, 2011 pukul 11:09
silakaan..
amin, semoga bisa menginspirasi..
kalau mau yg lebih menohok, bisa lihat yg “Kenapa TIDAK Berjilbab?” atau “Jilbab BUKAN Masalah Khilafiah”.. atau “Ikhlas Berjilbab”..
*promosi
hehehe..
SukaSuka
Wardi
September 27th, 2011 pukul 23:17
Izin share ukhti …..
SukaSuka
Viska
September 28th, 2011 pukul 11:49
boleeh.. semoga bermanfaat bagi yg baca yaa.. amin 🙂
SukaSuka
akhiru
Januari 15th, 2012 pukul 22:40
Artikelnya bagus,
ijin copas ya…
Terimakasih…
SukaSuka
Viska
Januari 16th, 2012 pukul 12:54
bolleeee.. semoga bermanfaat bagi yang baca ya 🙂
SukaSuka
Sari Astraviani
Juli 20th, 2012 pukul 12:57
saya br baca artikelnya tp sungguh bagus dan saya setuju…..krn jilbab jg bisa mengubah sifat dan perilaku sy jd lebih baik dan lebih muslimah.
SukaSuka
devi
Juli 30th, 2012 pukul 23:54
QS. Al-Ahzab: 59 , “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin,
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka.
ironis banyak yg dakwah islam scra kaffah..tp msh nawar perintahny..pakai jilbab cman sampe dada.padhl perintahny seluruh tubuh(burka)..
SukaSuka
Viska
Agustus 12th, 2012 pukul 01:20
Sari, alhamdulillaaah ya.. Semoga menjadi semakin sempurna ya, amin 🙂
Devi, iya betul saya juga masih “setengah-setengah” nih 😀 Semoga ke depannya bisa sempurna 🙂 Anggaplah mereka itu yang berdakwah di garis depan, yang utama muslimah itu menutup aurat dulu. Seperti pengalaman saya yang imannya cetek, tidak mudah lho langsung merubah penampilan. Harus mengalami “tamparan-tamparan” yang kemudian menyadarkan. Apalagi anak gaul yang penampilannya modis. Tiba-tiba didakwahi memakai burqa/kerudung (menutup seluruh tubuh) wooow.. “Tamparannya” harus keras sekali 😀 *pengalaman* 😀
SukaSuka
madsodiq
Januari 8th, 2013 pukul 11:47
betul tuh wajib bagi setiap perempuan yang ngaku islam memakainya, insya Allah damai kehidupan dunia ini, ndak melulu urusan sex dan tubuh wanita yang jadi hiasan pandangan mata dan pokok pembicaraan.
SukaSuka
Viska
Januari 17th, 2013 pukul 18:42
Hmmm.. *manggut-manggut*
Begitu ya, Pak?
Tapi meskipun semua manusia di muka bumi ini Muslim, rasanya belum tentu damai sepenuhnya juga.. Selalu ada benturan kepentingan yang satu dengan yang lain..
SukaSuka
fela febriana
Mei 25th, 2013 pukul 11:29
ijin share yaa,,, mksih
SukaSuka
Viska
Mei 25th, 2013 pukul 19:31
Silakaan.. You’re most welcome 🙂
SukaSuka
Griya Zahara
Agustus 20th, 2013 pukul 20:09
Subhanalloh,semoga jadi inspirasi bagi smua muslimah yang blum berhijab.amiin
SukaSuka
Viska
Agustus 27th, 2013 pukul 11:18
Aamiin.. Terima kasih sudah mampir, ya 😉
SukaSuka
syakira fathiin
Agustus 24th, 2013 pukul 23:15
syukron..jazakillah 🙂
SukaSuka
Viska
Agustus 27th, 2013 pukul 11:29
Semoga bermanfaat ya, adik manis 🙂 terima kasih sudah mampir!
SukaSuka
Sobri
Januari 27th, 2014 pukul 23:28
Ass Wr Wb,
Admin yang terhormat, Saya ingin bertanya, lebih utama mana bagi wanita, bersabar atau berhijab? Bertawadhu atau berhijab? Berbuat baik atau berhijab?
Saya tidak mengecilkan arti berhijab, tetapi pada dua ayat yang menyatakan tentang hijab (24:31 dan 33:59), kata perintah yang digunakan Allah untuk mengawalinya adalah “Hendaklah…” bukan “Diwajibkan…” (seperti Puasa) atau “Berhijablah…” atau “Kenakanlah hijab…” atau “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berhijab….”
Coba Kita lihat pada QS 3:200, Allah dengan tegas berfirman “Bersabarlah…” bukannya “Hendaklah orang-orang beriman bersabar….” atau pada QS 16:90 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berbuat adil dan berbuat kebaikan….” bukannya “Hendaklah Kamu berbuat adil dan berbuat kebaikan…”.
Mengenai pemakaian kata “Hendaklah…” dalam sebuah perintah Allah, coba yuk Kita baca QS 2:233 berikut ini:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
Pada ayat di atas jelas bahwa menyusui disarankan (tidak diwajibkan) oleh Allah. Dan, sungguh Allah Maha Mengetahui keadaan hambaNya, terkadang ada keadaan dimana seorang ibu tidak dapat menyusui. Oleh karena itu, Allah berfirman “…. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya….. ”
Bukankah tidak semua perintah di dalam Al-Qur’an itu merupakan perintah yang wajib? Contohnya perintah mencatat utang piutang di QS 2:282 yang juga menggunakan kata “Hendaklah….”
SukaSuka
Viska
Januari 31st, 2014 pukul 14:00
Wa’alaikumsalam..
Pak Sobri yang baik, terima kasih atas kunjungannya ke sini. Ini blog pribadi kok, nggak ada adminnya 😀
Menanggapi pertanyaan di atas, saya tidak akan menjawab dengan menggunakan surat, ayat atau dalil-dalil; saya kira postingan saya mengenai hijab/jilbab yang sudah dibuat berseri-seri sudah cukup menjelaskan. Sebenarnya sampai sekarang pun soal hijab/jilbab ini masih menjadi perdebatan di antara ulama. Jika googling soal wajib atau tidaknya hijab/jilbab, akan muncul link yang sama banyaknya. Di Indonesia sendiri, ulama-ulama seperti almarhum Gus Dur atau Quraish Shihab mengikuti pendapat yang tidak mewajibkan hijab/jilbab. Namun pendapat yang mewajibkan hijab/jilbab sudah menjadi ijma’ dari para ulama di seluruh dunia.
Nah, menurut pendapat saya pribadi, jika bisa melakukan dua atau tiga amalan sekaligus, kenapa harus memilih melakukan satu saja? Jika bisa berhijab, sekaligus bersabar dan berbuat baik; mengapa harus memilih bersabar saja tapi tidak berbuat baik? Atau berhijab saja, tapi tidak tawadhu. Toh tidak ada ruginya jika semua amalan dikerjakan, Allah mencatat semua amalan dan dosa kita meskipun sebesar zarah. Terlebih mengingat bahwa sesuatu yang diperintahkan/dianjurkan-Nya pasti ada maksud baik di dalamnya, maka kesadaran untuk menutup aurat bisa menjadi lebih besar daripada sekedar menjalankan kewajiban.
Dan tidak ada yang tahu kecuali Allah, amalan mana yang diterima dan berpahala. Siapa tahu, tanpa disadari kebaikan kita kurang ikhlas atau sedekah kita bercampur riya. Yakin solat wajib kita sudah sempurna dan diterima Allah? Wallahu’alam. Oleh karena itu, sebaiknya kita bergiat mengerjakan semua amalan, baik yang wajib atau yang sunnah. Jadi jika ada ibadah wajib yang tidak sempurna, ditambal dengan amalan sunnah. Ada amalan sunnah yang keropos, ditambal dengan amalan yang lain. Jadi tidak ada amalan kebaikan yang yang dikerjakan itu sia-sia.
Meskipun ada yang menganggap “hanya” anjuran, tapi anjurannya ada dalam Qur’an dan hadits lho… Kurang apa lagi? Masa kita mau mengerjakan amalan yang tidak ada dalam Qur’an/hadits… Bid’ah dong namanya 😀 Berikut saya posting foto yang dicopas dari hasil google, tentang penutup kepala wanita dari agama-agama yang berbeda.
Menutup aurat ternyata juga diamalkan oleh wanita-wanita dari agama lain di luar agama samawi. Artikelnya menarik sekali, boleh dibaca di http://gayatriwedotami.wordpress.com/2011/04/11/kerudung-oh-kerudung/.
Demikian ya Pak Sobri, tanggapan saya, mohon maaf jika tidak memuaskan 🙂
Oiya tambahan soal menyusui, SEMUA wanita dalam kondisi normal BISA menyusui kok.
Maksudnya tidak cacat atau disfungsi. Seringnya adalah wanita yang tidak tahu bagaimana menyusui itu sehingga produksi ASI kurang lancar, lama-lama ASI tidak keluar. Most common problem adalah, busui kurang minum air putih (minimal 2 gelas sebelum dan 2 gelas sesudah menyusui), sehingga badan mengalami dehidrasi tidak disadari, salah satunya ASI menjadi tidak lancar. Tapi bahkan produksi ASI yang sudah terhenti masih bisa dimulakan lagi dengan relaktasi.
Oleh karena itu, menjadi ibu juga perlu belajar, bahkan belajar tentang menyusui. Tidak seperti jaman Nabi dulu, sekarang sudah banyak buku, milis, klinik laktasi, konselor ASI, bahkan akun-akun penggiat ASI di twitter atau facebook banyak yang bisa difollow untuk saling sharing, support dan mendapatkan info. Untuk bapak ASI juga ada. Jadi tidak ada alasan untuk tidak menyusui anak kita sendiri 🙂 demikian, salam ASI!
SukaSuka
Sobri
Februari 1st, 2014 pukul 23:33
Ass wr wb Viska,
Masalah Ibu menyusui tidak segampang itu, sifatnya kasuistis, tidak sekedar minum air putih lalu bisa banyak. Letak masalahnya bukan pada mau atau tidak mau, tetapi bisa atau tidak bisa.
Kini soal jilbab, masalahnya Al-Qur’an tidak menyatakan jilbab itu wajib, mengapa harus menjadi wajib? Dalam hal ijma ulama, tidak semua ulama menyatakan jilbab itu wajib. Kalau mau memakai jilbab silahkan saja, tidak ada yg melarang, tetapi ketika menjadi wajib bukankah Kita menjadi berlebihan atas perihal jilbab? Kata2″… kecuali yang biasa nampak..” pada QS 24:31 dapat diinterpretasikan secara berbeda tergantung tempat seseorang berada, ketika di Arab mungkin spt itu, tetapi ketika di Jawa maka bisa jadi berbeda, karena adanya perbedaan budaya. Bukankah Al-Qur’an diturunkan untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia? Dan budaya merupakan wujud cipta karya pikiran manusia yang berbeda-beda di setiap daerah di dunia.
Segala yang wajib dan haram telah secara tegas dinyatakan dalam Al-Qur’an dengan tujuan agar tidak menjadi perdebatan. Perintah Sholat dan jilbab tercantum dalam redaksi yang sungguh berbeda di dalam Al-Qur’an.
Bisa jadi pandangan orang ttg jilbab sudah menjadi berlebihan dari apa yang dikehendaki oleh Allah….
Allahu A’lam
Wass Wr Wb
SukaSuka
Viska
Februari 2nd, 2014 pukul 16:55
Wa’alaikumsalam
Pak Sobri,
Soal ASI, percayalah, it’s that simple. Catatan, ibu yang normal tanpa gangguan disfungsi. Minum air hanya salah satu faktor, tapi kebanyakan begitu. Lainnya adalah mood, makanan, support lingkungan, pijat, hormon yang dipengaruhi pikiran dan prinsip demand vs supply. Busui yang asinya sedikit, lalu merasa dan berpikir “jangan-jangan asiku sedikit,” ketika menyusui jadi stres karena merasa asinya sedikit, maka otak akan terprogram demikian yang otomatis mengurangi produksi asi, sesuai perintah otak. Apalagi karena biasanya, setelah asi sedikit, maka bayi diberikan sufor, maka demand asi berkurang sehingga produksi asi pun makin tidak lancar. Bayi pun yang sudah minum sufor, akan kesulitan menyusui karena bingung puting dan memang ngedot itu lebih enak, karena tidak perlu effort yang lebih berat untuk menghisap seperti menyusui. Mengulangi siklus di atas, lama-lama asi pun tidak keluar sama sekali. Jadi jika ibu mau, pasti bisa, kecuali ada penyakit atau gangguan fisiologis. Bisa digoogle, literatur soal breastfeeding banyak sekali. Dokter, konselor, klinik laktasi juga banyak, jika kesulitan bisa mencari bantuan, ibarat jika sakit pergi ke dokter. Lebih lanjut, bisa diskusi dengan para pakar ya, Pak.
Soal jilbab, Al-Qur’an tidak mewajibkannya, itu hanya pendapat ulama yang menafsirkan demikian dong. Sebaliknya, saya meyakini ijma’ ulama yang mewajibkan. Postingan saya sebelumnya sudah cukup mewakili pendapat saya. Pada akhirnya, kesadaran dan keikhlasan yang membuat saya tetap berjilbab. Jika Anda yakin pada ulama yang tidak mewajibkan, silakan saja. Saya tidak akan berdebat soal dalil dan ayat. Anggapan Anda bahwa ada interpretasi berlebihan soal wajibnya berjilbab alias jilbabisasi, sudah dijawab dalam artikel tentang jilbabisasi dan jilbab dalam dunia Kristiani, yang saya share link-nya di komentar sebelumnya. Soal jilbab dan budaya di luar pemahaman saya, jadi silakan berdiskusi dengan yang lebih ahli.
Merujuk kalimat Anda, Al-Qur’an diturunkan untuk umat di seluruh dunia, jadi isinya sudah mencakup apapun budaya di seluruh dunia itu sendiri. Budaya Jawa itu yang bagaimana maksudnya, karena di Arab dulu wanita biasa bertelanjang kan. Aurat wanita di Jawa dan Arab kan sama aja, Pak 😀 Justru karena kehendak Allah soal jilbab, wallahu’alam tidak ada yang bisa memastikan bagaimana dan ulama pun memperdebatkannya; daripada membuka aurat lebar-lebar tentu lebih baik menutup aurat rapat-rapat, karena membuka aurat jelas dilarang. Pengenaan jilbab yang berlebihan di luar kehendak Allah yang mana, maksud Anda? Saya kira batasannya pun jelas, panjang menutup dada, dst, dst…
Lalu apakah Al-Qur’an yang isinya ayat Ilahi harus menyesuaikan dengan budaya yang notabene adalah hasil pikiran manusia yang merupakan ciptaan Ilahi. Rukun Islam dijelaskan dengan cukup gamblang, namun tidak dengan hal lain, seperti jilbab misalnya, namun sudah dijelaskan lebih lanjut dengan hadits, ijma’ para ulama, dan lainnya. Maka akhirnya kembali kepada umat hendak meyakini yang mana 🙂
Wallahu’alam bissawab.
SukaSuka
Sobri
Februari 3rd, 2014 pukul 00:53
@ Viska,
Soal ASI, bagaimana kalau bayinya memiliki alergi lebih dari 20 jenis makanan, termasuk susu sapi dan katuk? Apakah akan sesederhana itu? Butuh disiasati, butuh usaha, terkadang dokter juga tidak mengerti keadaan itu, yang mereka tahu hanya jangan stres, bahwa hal itu tergantung dari kebutuhan bayi, bgmn dengan ibu yang asi nya berlimpah? Apakah seberlimpah itu juga kebutuhan bayinya? Nyatanya, masalah ASI itu sungguh kasuistis. Gembar-gembor ASI menciptakan tuntutan tersendiri bagi Ibu yang memang ingin ngasih ASI, tetapi tidak bisa karena faktor khusus yang dimilikinya bersama bayi, misal faktor alergi spt yang sy sebut itu.
Viska, kerudung merupakan pakaian yang memang biasa dipakai oleh orang Arab untuk menutup bagian kepala mereka (jd mereka tdk biasa telanjang spt yang Kamu sebut), namun biasanya pendek saja, makanya mereka diperintahkan oleh Allah di QS 33:59 untuk mengulurkan jilbabnya itu ke bawah, Itu pun mengingat kondisi pada saat itu bahwa banyak kaum munafik yang mengganggu muslimah yang mereka kira hamba sahaya. Dengan memanjangkan jilbab mereka akan dianggap wanita terhormat dan lebih mudah dikenali (sebagai wanita terhormat, bukan hamba sahaya).
Skrg sy ingin bertanya mengenai aurat pria, menurut Kamu bagian mana saja yang termasuk aurat pria? Apakah dari pusar sampai ke lutut? Atau mungkin ada yang lain? Imam Maliki, Syafi’i, dan Hanafi berpendapat bahwa aurat pria adalah mulai dari pusar hingga ke lutut, itu pendapat ulama terdahulu (bukan bermaksud mengecilkan). Namun, bagaimana dengan zaman sekarang? Bnyk wanita yang merasa “gimana gitu” ketika melihat dada pria yang berotot atau perut yang six pack. Keadaan spt itu tentu tidak ada pada zaman ulama2 tersebut dan belum terpikir oleh mereka akan keadaan zaman sekarang yg spt itu. Nah, apakah dada pria termasuk aurat? Kalau melihat keadaan di atas, tegas dinyatakan “ya, aurat” karena bisa merangsang berahi wanita. Sesungguhnya wanita spt itu tlh melanggar QS 24:31 dimana mereka diperintahkan untuk menjaga pandangannya. Bukankah Al-Qur’an berlaku sepanjang masa? QS 24:31 tetap relevan dengan keadaan zaman sekarang, tetapi pendapat ulama bisa menjadi tidak relevan seiring dengan berjalannya waktu.
Apakah Kamu pernah membaca bahwa ada ulama besar Saudi Arabia yang menyatakan bahwa tidak apa bagi perempuan untuk terlihat lengannya.
http://english.alarabiya.net/articles/2013/02/27/268730.html
Dari hal itu Kamu bisa tahu bahwa perihal aurat di kalangan para ulama sendiri bisa terdapat perbedaan. Imam Hanafi mengatakan bahwa lengan dan kaki tidak apa-apa terlihat, karena kalau ditutup bisa menyulitkan gerak perempuan (pendapat Imam Hanafi). Contoh lain, Ada dua ulama yang berpendapat sangat keras mengenai wajah itu aurat atau bukan? (Maaf, sy lupa namanya) Ulama A menganggap bahwa aurat itu wajah dan dia menyalahkan ulama B yang menyatakan tidak apa2 wajah terlihat. Perbedaan pandangan kedua ulama itu didasari oleh lingkungan mereka yang berbeda. Dari sini jelas bahwa di kalangan ulama saja terdapat perbedaan mengenai aurat perempuan.
Misalkan nih ya, Saya sebagai seorang pria (tanpa melihat bagian tubuh yang lain dari perempuan) melihat rambut perempuan yang diam (tidak bergerak), saya berkeyakinan tidak akan merasakan berahi atau syahwat hanya dengan itu, kecuali kalau pikiran Saya melayang kemana2 (tidak hanya sebatas rambut). Nah, pada keadaan itu bandingkan dengan perempuan yang melihat dada berotot (spt yang sy tuliskan di atas). Dari hal itu, batasan aurat menjadi tidak jelas, karena memang sesungguhnya Al-Qur’an itu tidak menyatakan batasan aurat dengan jelas.
Di artikel Kamu sempat mempertanyakan bahwa kalau memang jilbab wajib, mengapa tidak ada dalam rukun Islam? Sebenarnya Kamu bisa menelusuri sendiri jawabannya dari pertanyaan Kamu itu, bukankah memasukkan satu lagi saja tetap menjadi tidak terlalu panjang (rukun Islamnya)? Sholat yang jelas hukumnya saja, yaitu WAJIB, dilaksanakan hanya 5 kali sehari. Puasa Ramadhan hanya satu bulan dalam setahun. Kalau Jilbab memang Wajib, Kamu bisa hitung sendiri waktu yang digunakan untuk seorang wanita berjilbab, taruhlah 12 jam sehari (karena berada di luar rumah), bukankah itu jadinya lebih dari waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan Sholat lima waktu? Kalau memang itu sedemikian penting, kenapa tidak masuk ke dalam rukun Islam? Dan kalau memang perempuan bisa memanen pahala dari berjilbab (karena itu wajib), lalu Kami pria bagaimana? Amalan wajib apa yang bisa Kami lakukan agar bisa memanen pahala yang seperti itu? Bukankah Allah itu Maha Adil? Bukankah Pria dan Perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan-Nya?
Viska, yang Saya perdebatkan adalah hukum jilbab yang dinyatakan Wajib, padahal Allah tidak menyatakannya demikian. Jika Allah tidak menyatakannya demikian, tetapi manusia menyatakan Wajib, bukankah Kita menjadi berlebihan dan tidak sesuai dengan kehendak Allah? Ini bukan masalah membuka aurat lebar-lebar atau menutup aurat rapat-rapat (kalau soal itu Al-Qur’an sudah jelas menyatakannya), tetapi hukum jilbab yang dinyatakan Wajib dengan didasarkan atas pengertian bahwa rambut (dan bagian tubuh perempuan lainnya) itu adalah aurat, seluruh tubuh perempuan adalah aurat (kecuali wajah dan telapak tangan).
QS 24:31 tidak bisa dilepaskan dari ayat 30-nya, karena keduanya saling terkait yaitu menjelaskan adab hubungan sosial lelaki-perempuan di dalam pergaulan (Kamu bisa lihat link ini http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-An-nur/an-nur-ayat-30-31.htm), sementara QS 33:59 sangat terkait dengan sebab-musabab diturunkannya ayat itu.
Allahu A’lam
SukaSuka
Viska
Februari 4th, 2014 pukul 15:16
Pak Sobri nampaknya masih penasaran nih soal jilbab 😀
Pak, khitan juga tidak disebutkan dalam rukun Islam tapi ada yang meyakini kewajiban berkhitan lho. Terutama khitan perempuan, tuh di postingan saya tentang khitan, panjang sekali diskusinya. Lho kok jadi khitan 😀 Menurut saya sih, jilbab itu sudah terwakili dalam sholat. Ketika sholat kan wanita berjilbab menutup aurat, kenapa setelah sholat dibuka lagi? Apakah kita mengira Allah hanya melihat kita ketika sedang sholat saja, sesudahnya tidak, apalagi dalam kondisi wanita bercampur dengan laki-laki. Tapi ini pendapat pribadi saja sih, Pak, tidak ada hujjahnya.
Jadi mohon maaf jika jawaban saya tidak memuaskan. Sepertinya jika dilanjutkan diskusi malah cenderung jadi perdebatan dan nggak bakal ketemu titik temu, karena apa yang kita pahami dan yakini berbeda. Ini apa yang mau dicari? Nah untuk lebih jelas mungkin bisa berdiskusi dengan ahli tafsir, dan biar lebih mantap, bikin blog untuk publish pendapat dan pemikiran Anda. Sip ya?
Soal ASI, masyaAllah untuk ibu yang air susunya berlimpah, malah bisa menjadi donor bagi bayi lain yang membutuhkan. Sudah join forum-forum kesehatan dan ibu menyusui? Ternyata banyak lho kebutuhan akan donor ASI. Tahukah busui bahwa bila minum kopi/teh menghidrasi tubuh kita sebanyak 2 gelas air putih yang kita minum? Nah lalu ketahuan deh kenapa bayinya bisa sampai alergi.. Kenapa juga minum susu sapi? Susu sapi hanya untuk anak sapi, bukan untuk anak manusia. Tentu boleh mengkonsumsi susu dan produk turunannya, tapi sekedar rekreasional saja dan tidak menjadi rutinitas. Ibu hamil yang sejak awal kehamilannya mengkonsumsi susu sapi, cenderung melahirkan bayi yang alergi 😦 Sayang sekali kalau “gembar-gembor” ASI bukannya menjadi booster busui untuk memberi ASI tapi malah menjadi tekanan 😦 maka dari itu penting juga busui untuk join forum-forum dukungan ASI, bisa saling sharing, tukar info, saling menyemangati, pikiran menjadi lebih terbuka dan positif, juga jadi tau ahli/pakar mana saja yang bisa dirujuk untuk berkonsultasi.
Saya ingin berpanjang lebar soal ini, tapi ada yang lebih ahli dan kompeten yang bisa diajak diskusi, juga bisa di-google artikel atau penelitian-penelitian mengenai keburukan susu sapi. Buku-buku seperti basic Food Combining juga banyak, seperti karangan Hiromi Shinya, Kathryn Mersden, Andang Gunawan, Erykar Lebang, misalnya. Erykar Lebang ada akun twitter yang aktif yang bisa difollow jika ingin diskusi di @erykar dan ada blog menyoal FC. Dan memang tidak semua dokter memang update soal ilmu gizi ini. Tidak ketemu dokter yang mengerti soal itu? Ya ganti dokter sampai ketemu yang paham. Saya sendiri mengalami ganti dokter 7x sampai sebelum bertemu dokter yang benar-benar paham soal tidak perlunya rutin susu, obat, antibiotik dsb. Pernah dengar dokter yang tidak menyarankan minum air putih banyak-banyak? Nah teman saya mengalaminya 🙂 Well, akhir kata, selamat berdiskusi ya.
SukaSuka
Sobri
Februari 5th, 2014 pukul 11:46
Viska, mengenai susu sapi, apakah benar hanya untuk anak sapi? Lalu manusia dewasa tidak boleh mengonsumsinya? Jangan sampai Kita menjadi berlebihan atas sesuatu hal, ingin mem-push pemberian ASI dengan menjelekkan susu sapi. Padahal, dari susu sapi banyak manfaat yang bisa Kita peroleh. Ingat konsep khilafah Viska, bahwa Kita oleh Allah diperintahkan untuk bisa membuat segala ciptaannya, termasuk Sapi dan susunya, bermanfaat sesuai dengan tujuan diciptakannya oleh Allah.
Saya adalah seorang peneliti, Sy banyak membaca buku, artikel atau jurnal mengenai ASI dan manfaatnya. Sy juga menulis blog, salah satu atau lebih artikel Sy membahas ttg manfaat ASI. Saya tidak anti ASI, tetapi Sy tidak menyukai mereka yang tidak mengerti bahwa jika seorang Ibu tidak bisa memberi ASI bukan karena dia tidak mau, tetapi bisa jadi karena ASInya sedikit meski segala usaha telah dilakukan.
Mengenai alergi, sy kasih contoh, seorang bayi dilahirkan dari orang tua dmn keduanya membawa gen alergi (diwariskan dari kake-neneknya), si bayi alergi susu sapi. Kok, bisa ketahuan? Karena muncul bintik2 merah di seluruh tubuhnya ketika dikasih ASI. Loh kok? Iya, karena ibunya minum susu untuk busui yg notabene adalah dari susu sapi. Tidak hanya alergi susu sapi, tetapi juga alergi ikan air tawar, ayam, buah2an dan masih banyak lagi. Hal itu pun membuat si ibu kesulitan untuk mengonsumsi makanannya selama ia menyusui. Betapapun, si ibu tetap melanjutkan pemberian ASI. Namun, lambat laun ASI yg diproduksi menjadi sedikit, secara perlahan namun pasti hingga akhirnya diketahui bahwa ASI tidak cukup lagi untuk kebutuhan si bayi, pada saat itulah dicari susu selain susu sapi untuk pemenuhan kebutuhan si bayi. Dapat susu kedelai, ternyata bintik merah masih muncul. Lalu diperiksa, apakah si bayi juga alergi kedelai. Ternyata tidak. Lalu, kenapa bisa muncul bintik merah setelah dikasih susu kedelai? Usut punya usut, yang membuat bintik merah muncul adalah kandungan DHA yang ada di susu kedelai itu. DHAnya berasal dari minyak ikan. Orang tua hrs mencari susu kedelai merk lain yang DHA-nya tidak dari minyak ikan. Akhirnya, mereka menemukan susu yg cocok untuk bayinya. Knp mereka tidak mencari donor ASI? Sama saja, mereka tidak bisa mengetahui si pendonor telah mengonsumsi apa saja, bisa jadi di dalam ASI donor terdapat alergen yang tidak baik bagi bayi. Dalam hal ini, ASI pun bisa menjadi tidak baik bagi bayi. Kalau bayi sampai mengonsumsi alergen, tidak hanya bintik merah, masalah bisa muncul dari saluran pencernaan hingga bisa menimbulkan demam tinggi, yg parah bisa syok anafilaktik (gangguan saluran pernafasan).
Masalah alergi begitu kompleks, namun begitu orang tua di cerita itu tidak lah menyerah, karena mereka yakin pasti ada jalan keluar untuk bayinya yg alergi bnyk makanan. Setelah diperiksa, ternyata si bayi memiliki setidaknya 16 alergi, yg blm ketahuan mungkin masih banyak. Sy menemui kasus yg sama pada kolom komentar di blog sy, untung sy mengetahui jwbnnya jd bisa sharing dengan si penanya. Dokter biasanya hanya menyarankan untuk tidak mengonsumsi makanan yg biasanya menjadi alergen, spt ikan laut ataupun udang. Pdhl, kasus alergi itu bisa bersifat kasuistis.
Apapun itu, silahkan berjalan pada jalan masing2, tidak usah menyalahkan mereka yang tidak sejalan dengan pikiran Kita. Bisa jadi mereka lebih benar dari diri Kita. Tetap selalu rendah hati, karena hakikat Islam adalah mengamalkan ilmu-ilmu Allah yang manifestasinya terlihat dari tutur kata dan tingkah laku. Hal itulah yg dilihat orang lain pada diri Kita dan dilihat oleh umat bergama lain pada diri umat muslim. Ada suatu ayat di Al-Qur’an (maaf sy lupa ayat berapa), kira2 begini isinya, janganlah Kita umat Islam menghina Tuhan yg diyakini agama lain, karena umat agama lain bisa saja menghina Allah tanpa pengetahuan yang mereka miliki, dan Allah tidak menghendaki hal itu. Dari situ jelas bahwa Kita diperintahkan Allah untuk mampu menunjukkan kemuliaan Islam di mana pun Kita berada. Tetap bersabar dan rendah hati, InsyAllah.
SukaSuka
Viska
Februari 11th, 2014 pukul 09:05
Halo Pak Sobri,
Memangnya ada ya, dalam jawaban saya yang menyebutkan bahwa manusia tidak boleh mengkonsumsi susu sapi? Coba dibaca dulu lebih teliti, baru berkomentar lagi deh. Saya ulangi, tentu saja manusia boleh mengkonsumsi susu sapi dan produk turunannya, TETAPI tidak untuk menjadi rutinitas, hanya sekali-kali yang sifatnya rekreasional.
Mengenai alergi, sebenarnya tidak perlu contoh karena saya sendiri punya dua anak yang membawa gen alergi bawaan dari ayahnya. Jadi apa yang diceritakan di atas saya sudah mengalami, betapa rumitnya mengatur pola makan dsb agar anak-anak tidak kambuh alerginya. Bukan hanya makanan, tapi jenis kain yang menempel di kulit anak saya saja bisa berpengaruh banyak pada alerginya. Tetapi alhamdulillah, semua bisa teratasi. Apa yang saya katakan adalah hasil saya belajar pada guru-guru di dunia maya, yang sudah dipraktekkan dan saya tahu hasilnya. Kasuistis, ya tentu saja, yang mengalami kan bukan dua orang yang sama. Katakanlah saya beruntung. Kalau ada ibu yang mau menyusui dan merasa sudah maksimal dalam usahanya memberikan ASI tapi tetap gagal, tentu wallahu’alam. Allah sudah menghitung usahanya. Kalau Anda mau menyebut saya berlebihan pro-ASI, saya menyalahkan orang yang berbeda pendapat, tidak rendah hati, dsb, apapun itu terserah Anda saja. Tidak masalah, saya sih hanya menganggap saya orang yang optimistik dan positivist, gitu aja..
Well, kalau Anda seorang peneliti yang gemar membaca buku dan jurnal, tentu tidak perlu saya tampilkan link jurnal soal keburukan susu sapi atau hasil penelitian tentang ibu hamil yang minum susu sapi untuk ibu hamil dengan alergi bayi yang dilahirkannya; tentunya Anda sudah pernah baca, ya. Jadi pertanyaan apakah susu sapi hanya untuk anak sapi, saya juga tidak perlu menjawabnya. Dan apakah susu sapi bermanfaat, ya tentu saja bermanfaat lah, Pak, untuk anak sapi tentunya, dan itu sudah sesuai sekali dengan tujuan penciptaannya oleh Allah.
Menurut saya malah manusia itu yang rakus dan berlebihan memanfaatkan sapi, mulai dari kulit, daging, susu, bahkan otak, usus dan jeroannya juga dimanfaatkan untuk makanan. Dimakan sih boleh, halal, tapi apa mau makan itu tiap hari? Siap-siap saja menuai penyakit di kemudian hari. Tentu semua tahu itu kalau itu makanan nggak sehat. Nggak semua yang halal dan bisa dimakan itu sehat, kan. Susu sapi itu ibarat jeroan juga, bisa dimanfaatkan dan boleh dimakan, tapi ya nggak buat tiap hari, apalagi rutin 3x sehari. Sapi sekarang ini hanya dianggap sebagai mesin penghasil susu, secara genetik sudah dimanipulasi, disuntik antibiotik dan hormon supaya menghasilkan susu lebih banyak; apakah susu sapi yang demikian ini masih sehat untuk diminum setiap hari? Apalagi sampai diklaim memberikan pengaruh baik bagi kesehatan. Nampak jelas sekali manfaatnya, bagi produsen susu sapi.
Saya kalau baca artikel-artikel sejenis itu sampai bergidik, manusia itu atas nama kepentingan manusia, bisa memanfaatkan sesama makhluk ciptaan Allah dengan sedemikian kejamnya 😦 Apakah itu yang dimaksud bermanfaat sesuai dengan tujuan penciptaannya? Padahal semua itu terjadi karena manusia menggalakkan minum susu sapi.. Dan sekarang penggalakan ASI dianggap berlebihan? Kira-kira kalau manusia tidak berlebihan menganggap susu sebagai minuman kesehatan dan tidak rutin susu, apakah sapi akan diperlakukan seperti sekarang?
Sekedar cerita, saya juga dulu merutinkan susu untuk anak-anak, Pak. Selepas ASI 2 tahun, mereka minum susu 3x sehari. Susu sapi, susu soya, susu hypoallergenic, susu yang dihidrolisa sempurna, dll, semua sudah pernah dicoba. Anak-anak rutin batuk-pilek setiap sebulan sekali, kadang diare, alergi juga nggak berkurang. Sakit dua minggu, sembuh, dua minggu kemudian batpil lagi. Begitu terus selama 2 tahun. Dokter bilang, masih wajar anak-anak batpil setahun 12x. Wajar sih wajar, tapi apa enaknya anak sakit 12x dalam setahun? Tapi setelah stop rutin susu di usianya yang ke-4, ajaib! Setahun sakitnya hanya batpil, 1-2x saja. Saya kira anak yang sehat adalah yang lebih wajar. Anak-anak pun jadi lebih sehat dan nafsu makan, alergi berkurang. Orang tua, suami juga waktu itu menentang, tapi setelah tahu hasilnya, nggak ada lagi yang komplain. Saya bersyukur punya anak-anak alergi, badan mereka lebih peka sama makanan-makanan yang nggak bagus buat kesehatan.
Demikian.
Salam.
SukaSuka
Sobri
Februari 11th, 2014 pukul 11:30
Maaf kalau Sy salah, krn Sy hanya menyoroti kalimat Anda yang ini,
“Kenapa juga minum susu sapi? Susu sapi hanya untuk anak sapi, bukan untuk anak manusia…”
Soal “gembar-gembor” ASI, tahukah Kamu kalau ada seseorang atau sekelompok yang malah membenci susu sapi dan menyatakan bahwa susu sapi sama sekali gak ada manfaatnya? Atau mereka yang “menyumpahi” busui yang tidak (mau) menyusui agar terkena kanker payudara (maaf), mengingat (menurut penelitian) dengan memberi ASI dpt mencegah kanker payudara?
Itu saja.
Terima Kasih
Salam
SukaSuka
Viska
Februari 11th, 2014 pukul 12:39
Wah, baru saja saya update jawaban terakhir saya dengan mengutip artikel dari peta.org.. Eh sudah keburu dibalas lagi niyh.
Hehehe.. Ya jelas salah dong, Pak, kan kalimatnya masih ada lanjutannya “Kenapa juga minum susu sapi? Susu sapi hanya untuk anak sapi, bukan untuk anak manusia. Tentu boleh mengkonsumsi susu dan produk turunannya, tapi sekedar rekreasional saja dan tidak menjadi rutinitas.” Mohon dikutip yang lengkap, karena mengutip sebagian artinya beda sekali 🙂
Pro dan kontra itu selalu ada, ekstrimis anti-susu sapi pasti juga ada, tapi paling hanya sekelompok. Setahu saya, pelopor #kibulansusu itu Erikar Lebang. Tapi doi nggak ekstrimis. Jadi paling follower-follower yang nggak bertanggung jawab saja. Yang benci susu sapi itu masih makan es krim, nggak? Kalau masih, ya berarti munafik. Biarkan saja.
Saya juga menganggap susu sapi tidak ada manfaatnya (bagi kesehatan– tapi ada manfaatnya secara rekreasional, misalnya jadi produk es krim, keju, dll) tapi saya nggak benci. Apalagi menyumpahi agar busui kena kanker. Naudzubillahimindzalik. Menyusui hanya salah satu faktor yang dapat menurunkan resiko kanker payudara, masih ada faktor genetik dan gaya hidup. Santai, Pak, saya bukan ekstrimis anti-susu sapi kok 😀
SukaSuka
Sobri
Maret 1st, 2014 pukul 21:43
Mengenai konsumsi susu sapi, lihat QS 23:21
SukaSuka
Viska
Maret 5th, 2014 pukul 13:42
Salam, Pak Sobri, bagaimana kabarnya?
Saya kutip terjemahan bebas dari QS 23:21 yaa..
“Dan sungguh pd hewan-hewan ternak terdapat suatu pelajaran bagimu. Kami memberi minum kamu dari (air susu) yang ada dalam perutnya, dan padanya juga terdapat banyak manfaat untukmu, dan sebagian darinya kamu makan.”
Nggak ada yang salah dengan ayat tersebut, kok. Al-Qur’an sama sekali nggak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Nggak ada kan dalam ayat tersebut disebut bahwa susu bagus bagi kesehatan atau anjuran untuk meminum susu rutin setiap hari? Di situ disebut “bermanfaat” iya betul bermanfaat; bisa menjadi bahan masakan, minuman, bahan kue dan sederet produk turunan susu lainnya, tapi apa yang bermanfaat itu selalu berarti baik bagi kesehatan? Kan tidak. Saya sudah contohkan sebelumnya, otak sapi, babat, limpa, usus dan jeroan sapi lainnya juga bermanfaat, bisa, boleh dan halal dimakan, tapi apa berarti baik bagus bagi kesehatan? Tidak sama sekali, bukan? Lagipula, sapi jaman sekarang tentu beda dengan sapi jaman dahulu. Seperti ditulis dalam artikel dari peta.org yang saya kutipkan link-nya kemarin, sapi perah sekarang disuntik obat dan hormon, makanannya pun yang genetically modified (GMO). Apakah masih bisa dibilang sehat? Saya yakin Pak Sobri sebagai peneliti lebih paham dan mengerti daripada saya tentang hal ini. Pada ayat tersebut saya lebih condong bahwa “manfaat” yang dimaksud lebih kepada manfaat dari hewan ternaknya, bukan susunya.
Berikut link artikel yang membahas tentang susu dan Al-Qur’an, monggo dibaca jika berminat:
– Kibulan Susu dalam Al-Qur’an
– Kontroversi Susu dalam Al-Qur’an
Oiyaa mau menambahkan tentang perempuan telanjang di jaman jahiliyah yang pernah saya sebutkan dulu.. Saya pernah membaca tapi lupa di mana.. Nah akhirnya saya googling, Muhammad Abduh Tuasikal pimpinan muslim.or.id dan rumaysho.com menulis dalam artikel ini, saya kutip:
“Jika katakan jilbab adalah budaya Arab, maka kita mesti lihat sejarah Arab sebelum Islam itu datang. Kalau kita lihat penjelasan ulama, ternyata menunjukkan bahwa jilbab itu datang ketika Islam itu ada. Karena sebelumnya di zaman jahiliyah, wanita itu telanjang dada. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Perempuan pada zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada, tanpa ada kain sedikit pun. Kadang-kadang mereka memperlihatkan leher, rambut dan telinganya. Kemudian Allah akhirnya memerintahkan wanita beriman untuk menutupi diri dari hal-hal semacam tadi.” Beliau merujuk Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 218.
Saya baru mau ikut mencarinya dalam tafsir Ibnu Katsir tapi belum kesampaian, yuk kita cek sama-sama ya, Pak. Mengenai pendapat Pak Sobri bahwa jilbab itu tidak wajib, jilbab itu bagian dari budaya Arab dst, ternyata serupa dengan pendapat ibu Musdah Mulia mengenainya. Berikut saya kutipkan link artikel tentang pendapat ibu Musdah Mulia mengenai ketidakwajiban berjilbab dalam artikel berikut, lengkap dengan sanggahannya. Silakan dibaca jika berminat ya, Pak..
– Jilbab Bukan Kewajiban Namun Pilihan [1]
– Jilbab Bukan Kewajiban Namun Pilihan [2]
SukaSuka
Sobri
Maret 6th, 2014 pukul 22:09
Mengenai susu sapi memang bermanfaat, klo keadaannya spt yg Anda bilang itu bukan salah susu sapinya, hakikatnya tetap bermanfaat.
Sy sudah tahu Musdah Mulia, Sy jg tahu pemikiran2nya. Bukan hanya Musdah Mulia, tetapi JIL jg mengatakan bhw jilbab itu tidak wajib, tetapi apakah Sy spendapat dgn smua pemikiran mereka? Tentu tidak, Sy tidak membenarkan hubungan sesama jenis atau Sy jg tidak setuju jika menikah beda agama tidaklah mengapa. Kesimpulan sy pada tidak wajibnya jilbab adalah hasil dari apa yg sy pelajari, sblmnya sy pun bpendapat bhw jilbab adalah kewajiban.
Dasar wajibnya jilbab adalah definisi aurat, yaitu untuk perempuan kecuali wajah dan telapak tangan. Definisi aurat yg spt itu adalah pendapat ulama, bukan terfirman dalam Al-Qur’an. Ada juga hadits Nabi yg diriwayatkan oleh Abu Daud, namun hadits itu ahaad, tdk ada hadits lain yg mdukung itu shg keterhubungannya tidak ada. Apkah bisa jatuh hukum wajibnya jilbab didasarkan pada hadits ahaad itu? Sementara di Al-Qur’an tdk dinyatakan batasan aurat? Jika jilbab wajib, mengapa Rasul tidak menjelaskannya secara terperinci?
Ungkapan seseorang “Lbh baik jilbabin hati dulu, drpd jilbab2 tapi akhlaknya begitu…” melahirkan ungkapan lain “Jilbab dan akhlak adalah dua hal yang berbeda, dst dst…..”. Bagi Sy memisahkan akhlak dan jilbab adalah dua hal yg tidak boleh, orang yg melihat seseorang yg berjilbab akan selalu mengasosiasikan dirinya dgn hal2 yg baik, krn itu adlh identitas/simbol keagamaan, namun ketika yg bjilbab itu scr sengaja/tidak melakukan sesuatu yg tidak baik, maka org lain secara otomatis akan menghubung2kan jilbab yg dipakainya dengan perilakunya. Karena jilbab tidak spt sholat yg tidak tampak jelas, kecuali orang itu mengenalnya dgn baik.
Lalu ada juga yg mengungkapkan bhw wajibnya jilbab spt wajibnya sholat. Mnrt sy, hal itu adalah keliru, krn keterangan Al-Qur’an mengenai sholat sungguh sangat berbeda dgn ket mengenai jilbab. Jk Anda membaca ayat2 ttg sholat akan jelas tergambar urgensinya dan konsekuensi jk tdk melakukannya, tetapi jilbab?
Quraish shihab jg berpendapat bhw jilbab bukanlah kewajiban muslimah. Karena pernyataannya itu bnyk orang yg menghujatnya, pdhl keilmuan beliau jauh melebihi mereka yg menghujatnya.
Well, itu adalah pendapat saya, Anda tidak harus setuju. Jk memang demikian, sy mohon jgn pisah2kan jilbab dgn akhlak, karena perintah Allah ttg memiliki akhlak baik terfirman dalam bnyak ayat di Al-Qur’an, sementara ayat yg sering diutarakan berbicara mengenai jilbab hanyalah dua.
Ada ulama Mesir yg dlm disertasinya di Al-Azhar jg mnyatakan jilbab bukanlah kewajiban dalam Islam
http://www.moroccoworldnews.com/2012/06/45564/hijab-is-not-an-islamic-duty-scholar/
Kiranya itu yg bisa sy utarakan. Mohon Maaf jika ada kesalahan
SukaSuka
Viska
Maret 11th, 2014 pukul 21:12
Ya memang bukan salah susu sapinya.. Salah manusia yang berlebihan mengkonsumsi susu sapi.. Hehehe.. Bermanfaat itu belum tentu sehat. Jadi kalau hasil penelitian dewasa ini menyatakan bahwa susu sapi adalah punca dari berbagai macam penyakit yang ada saat ini, pastinya bukan salah Qur’an sama sekali.
Rasanya saya nggak menuduh Anda sependapat dengan semua pemikiran JIL deh.. Saya hanya tuliskan bahwa pemikiran mengenai tidak wajibnya jilbab itu serupa dengan yang diutarakan ibu Musdah Mulia. Kok jadi melebar ke pernikahan sejenis dan pernikahan beda agama? Jadi jangan emosi dulu, Pak.. Masa lagi-lagi salah paham sama saya? Hehehe..
Nah saya juga nggak setuju sama yang berprinsip lebih baik jilbabin hati dulu itu. Buat saya sih, perempuan itu mau akhlaqnya baik atau buruk kalau dia muslim ya wajib berjilbab 🙂 Ini juga pendapat saya, tentu saja Anda boleh nggak setuju. Apa ada tulisan saya yang menyiratkan pemisahan jilbab dan akhlaq ya? *mikir* Harus cek ulang tata bahasa nih..
Postingan saya mengenai “kewajiban berjilbab” berdasarkan insight dari pengalaman pribadi dan hasil saya belajar baik itu dari buku, internet, guru agama maupun majelis-majelis taklim yang saya datangi. Tentang pendapat yang tidak mewajibkan jilbab saya pun tau, tapi saya lebih yakin dengan pendapat yang mewajibkannya. Wajibnya jilbab tidak seperti sholat? Yang jelas wajib sih menutup aurat, caranya mau berjilbab atau berkarung atau bermukena tergantung bagaimana yang memakainya 🙂
Kenapa pula dengan definisi aurat menurut pendapat ulama? Setau saya, sumber hukum di dalam Islam itu adalah Al-Quran dan Assunnah, dengan derajat kedudukannya adalah : 1. Al-Quran 2. Hadist Nabi 3. Ijtihad Ulama’. Apa iya para Ulama itu asal menyimpulkan definisi aurat. Ilmu dan keahlian mereka kan pasti nggak sembarangan, ijtihadnya pasti ada dasarnya. Jadi bagi yang meyakini jilbab adalah wajib itu bukan sesuatu yang berlebihan juga.
Saya tidak hendak berkomentar lagi soal batasan aurat, ayat Qur’an dan hadits soal menutup aurat atau berhijab dsb, rasanya bukan kapasitas saya untuk membahas hal-hal tersebut, saya tau bahwa menafsirkan ayat Qur’an dan hadits nggak bisa sembarangan orang apalagi ngarang sendiri, nanti saya malah salah 😀 Menafsirkan ayat Qur’an juga nggak bisa sepotong ayat saja, tapi harus ayat-ayat yang berkaitan secara keseluruhan. Nah Qur’an saja saya nggak hafal 😀 Pantasnya sih Anda berdiskusi dengan pakar agama yang kredibilitasnya sudah diketahui, lebih bagus dari kedua belah pihak baik yang pro maupun yang kontra, jadi bisa mendapatkan hasil yang lebih mantap.
Demikian ya, Pak Sobri, terima kasih atas kunjungannya ke blog ini 🙂
SukaSuka
Sobri
Maret 11th, 2014 pukul 22:48
Mengenai hub sesama jenis dan pernikahan beda agama, itu terkait dgn pmikiran Ibu Musdah Mulia dan JIL. Sy sama skali tdk emosi, sy hanya mencegah orang2 ketika mmbaca page ini untuk bpikir bhw Sy spt mereka,lalu berasumsi macam2 dan gugur smua pkataan Sy, atau tidak dianggap. Sy hanya berusaha mncegah hal itu.
Mengenai akhlak dan jilbab,pmikiran yg bkembang saat ini adlh yg spt itu.Sy tdk myinggung tulisan Anda, Sy bbicara scr umum.
Spt yg sy bilang,mnutup aurat adlh perintah Allah (QS 7:26),tetapi batasan aurat itu kan tdk dnyatakan dlm Al-Qur’an.Cb baca lagi komen sy di atas ttg dada pria, apakah itu trmsk aurat?Wajah perempuan pun bisa menjadi aurat,tergantung dari yg memandangnya,bgmn hatinya saat dia memandang wajah seorang perempuan. Hati seseorang itulah yg menentukan apakah suatu bagian tubuh itu tergolong aurat (yg menimbulkan syahwat) atau tidak,spt penjelasan Sy ttg Rambut pada komen di atas. Siapa yg tahu isi hati manusia? Yang bersangkutan dan, tentunya, Allah. Allah lah yg menilai atas smua itu.
Mengenai Tabarruj, QS 33:33. Bukankah itu perintah kepada Istri-istri Nabi? Lalu, apakah istri2 Nabi sama spt perempuan yang lain? Jawabannya ada di QS 33:32.
Itu saja yg ingin disampaikan. Trmksh
SukaSuka
Viska
Maret 20th, 2014 pukul 18:09
Salam Pak Sobri
Melanjut diskusi kita ya, soal aurat laki-laki kelupaan saya yah?
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اْلمَرْأَةُ عَوْرَةٌ, فَإِذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ, وَأَقْرَبُ مَا تَكُوْنُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهَا وَهِيَ فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا
“Wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar (rumah), maka setan bergegas mendekatinya. Sedang wanita dalam keadaan paling dekat dari rahmat Tuhannya, ketika ia berada di dalam rumahnya”. (HR. Tirmizi dan Ibnu Hibban).
Wanita itu jika ia tidak menutup rambutnya, maka nampaklah rambutnya mulai dari ia melangkah keluar rumah sampai kemana pun ia pergi. Dan kemana pun ia pergi, semua orang yang bertemu bias melihatnya. Dada pria, di mana sih kita bisa melihat dada pria? Paling mungkin di kolam renang atau pantai, spesifik sekali lokasinya. Kan tidak di jalan-jalan, di mall atau di tempat umum terbuka lainnya. Apa Pak Sobri jalan-jalan bertelanjang dada, tentunya kan tidak 😀
Mengenai tabarruj rasanya sudah banyak sekali dibahas ya? Coba deh Pak Sobri googling. Kalau Anda menganggap itu hanya perintah kepada istri-istri Nabi dan tidak berlaku untuk “wanita biasa”, ya monggo silakan saja. Saya sih ikut pendapat yang menafsirkan perintah itu wajib untuk wanita muslim secara umum. Bayangkan, apabila istri-istri Nabi yang shalihah saja dilarang bertabarruj, apalagi kami wanita biasa? Apa bukannya wanita biasa ini yang harus meneladani istri-istri Nabi? Istri-istri Rasul kan merupakan cerminan shalihah bagi wanita-wanita dalam bertakwa. Kalau bukan mencontoh istri Nabi, lalu siapa dong…
Beberapa tafsiran saya kutip sbb:
| Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “Makna ayat ini adalah perintah (bagi kaum perempuan) untuk menetapi rumah-rumah mereka. Meskipun (asalnya) ini ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi secara makna (wanita-wanita) selain mereka (juga) termasuk dalam perintah tersebut. Ini seandainya tidak ada dalil yang khusus (mencakup) semua wanita. Padahal (dalil-dalil dalam) syariat Islam penuh dengan (perintah) bagi kaum wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka dan tidak keluar rumah kecuali karena darurat (terpaksa)” [12] Kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur-an” (14/174). Lihat di sini.
| Perintah Allah ini memang disampaikan kepada istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun pada dasarnya berlaku bagi semua wanita yang beriman. Adapun di sini Allah Ta’ala mengkhususkannya bagi istri-istri Rasulullah saja, itu tidak lain karena posisi, kedudukan dan kedekatan mereka dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di samping bahwa mereka merupakan suri teladan bagi para wanita yang beriman.
Allah Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS. at-Tahrîm: 6).
Ayat ini disampaikan kepada orang-orang yang beriman. Padahal diyakini, bahwasanya istri-istri Nabi itu tidak mungkin melakukan perbuatan zina. Yang demikian ini sudah menjadi bentuk semua perintah dalam al-Qur’an dan sunnah Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena, maksud dari perintah ini pada dasarnya berlaku umum, mengingat syariat Islam memang diperuntukkan dan diberlakukan secara umum bagi semua manusia. Sebagaimana terdapat kaidah yang mengatakan, bahwa “al-‘ibratu bi ‘umûmi al-lafdzi, lâ bi khushûshi as-sabab” (Dasar pengambilan hukum dari nash-nash al-Qur’an maupun hadis, adalah keumuman lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya). Kaidah ini akan tetap berlaku bagi semua nash-nash yang ada, selama tidak ada dalil yang menyatakan kekhususan nash-nash tersebut.
Sedangkan di sini, tidak ada satu pun dalil yang menyatakan kekhususan ayat di atas. Sebagaimana itu terjadi pada firman Allah yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. az- Zumar:65)
Oleh karena itu, maka hukum-hukum yang terkandung dalam kedua ayat ini dan yang semisalnya, tentu saja berlaku umum bagi semua wanita yang beriman. Contohnya, seperti larangan melontarkan kata-kata “ah” terhadap kedua orang tua yang ada dalam firman Allah Ta’ala yang berbunyi:
فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘”ah” “ (QS. al-Isrâ’:23). Maka, di sini tentunya memukul lebih dilarang dan diharamkan lagi.
Bahkan, di dalam kedua ayat al-Ahzâb tersebut terdapat suatu keterkaitan yang menjelaskan, bahwa hukum hijab berlaku umum bagi istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maupun yang lainnya, yaitu: firman Allah Ta’ala yang artinya:”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya”.(QS. al-Ahzâb: 33). Ini merupakan kewajiban-kewajiban umum yang bisa diketahui dalam agama secara pasti (dharûrah).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اْلمَرْأَةُ عَوْرَةٌ, فَإِذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ, وَأَقْرَبُ مَا تَكُوْنُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهَا وَهِيَ فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا
“Wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar (rumah), maka setan bergegas mendekatinya. Sedang wanita dalam keadaan paling dekat dari rahmat Tuhannya, ketika ia berada di dalam rumahnya”. (HR. Tirmizi dan Ibnu Hibban).
Syeikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya al-Fatâwâ berkata, “Oleh karena wanita wajib dilindungi dan dijaga, tidak seperti laki-laki, maka dikhususkan baginya untuk mengenakan hijab, tidak memamerkan perhiasan dan tidak tabarruj (menampilkan dandanan). Maka, wajib bagi seorang wanita menutup tubuhnya, dengan pakaian atau dengan berdiam diri di dalam rumahnya, di mana yang demikian ini tidak wajib bagi kaum laki-laki. Karena, penampilan wanita terhadap laki-laki lain, merupakan penyebab munculnya fitnah. Padahal, laki-laki adalah penguasa atas mereka.” (Lihat: al-Fatâwâ 15/297). Cek di sini.
Wallahu’alam.
Oiya, mengenai surat Al-Ahzab mengenai ayat jilbab yang ditafsirkan sebagai “anjuran” saja karena kata “hendaklah” dalam kalimatnya, saya menemukan dalam sebuah artikel, disebutkan bahwa kata “hendaklah” dalam arti bahasa Indonesia, ternyata oleh Imam Ibnu Katsir kata tersebut diartikan menjadi “memerintahkan”. Menarik ya. Sepertinya harus cek tafsir Ibnu Katsir secara langsung nih. Berikut saya kutipkan:
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” [Al-Ahzab: 59]
Berdasarkan ayat ini dan ayat serta hadits lain yang berbicara tentang jilbab, menunjukkan bahwa mengenakan jilbab bagi wanita muslimah adalah sebuah KEWAJIBAN.
Pertanyaannya, jika ada yang mengatakan bahwa firman Allah ta’ala, “Hendaklah…” menunjukkan bahwa mengenakan jilbab hanya sekedar anjuran dan bukan mewajibkan, maka kami jawab:
Pertama: Dalam Bahasa Indonesia mungkin benar bahwa kata “Hendaklah…” hanya bermakna anjuran bukan mewajibkan, namun dalam bahasa Arab, terlebih dalam Al-Qur’an maknanya bisa jadi anjuran dan bisa jadi mewajibkan. Untuk itu mari kita lihat penuturan ulama ahli tafsir ketika menafsirkan ayat ini. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
يقول تعالى آمرا رسوله، صلى الله عليه وسلم تسليما، أن يأمر النساء المؤمنات -خاصة أزواجه وبناته لشرفهن -بأن يدنين عليهن من جلابيبهن، ليتميزن عن سمات نساء الجاهلية وسمات الإماء
“Allah ta’ala memerintahkan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam agar beliau MEMERINTAHKAN para wanita mukminah -lebih khusus lagi kepada istri-istrinya dan anak-anak perempuannya karena kemulian mereka- untuk menutupkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka, agar berbeda dengan wanita-wanita Jahiliyah dan wanita-wanita budak.” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/481]
Dalam kaidah ushul yang sudah dimaklumi, jika sebuah kata bermakna PERINTAH maka hukum asalnya adalah WAJIB kecuali ada dalil yang memalingkannya dari mewajibkan kepada anjuran. Dan tidak ada satu dalil pun yang memalingkan dari hukum wajibnya.
Justru di akhir ayat, hukum wajib lebih diperkuat, yaitu firman Allah ta’ala, “Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” [Al-Ahzab: 59]
Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
أي: لما سلف في أيام الجاهلية حيث لم يكن عندهن علم بذلك
“Maknanya, Allah ta’ala mengampuni mereka atas dosa meninggalkan jilbab di masa Jahiliyah dikarenakan mereka belum memiliki ilmu tentangnya.” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/482]
Kedua: Kita tentunya sepakat bahwa para wanita di masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lebih tahu bagaimana cara mengamalkan perintah berjilbab dibanding yang lainnya. Berikut ini penuturan Aisyah radhiyallahu’anha tentang pengamalan “Hendaklah…” dalam firman Allah ta’ala,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” [An-Nur: 31]
Aisyah radhiyallahu’anha berkata,
يرحم الله نساء المهاجرات الأول، لما أنزل الله: { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } شقَقْنَ مُرُوطهن فاختمرن به
Semoga Allah ta’ala merahmati wanita-wanita sahabat muhajirin generasi pertama, ketika Allah ta’ala menurunkan firman-Nya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” [An-Nur: 31] maka para wanita tersebut segera memotong kain-kain mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” [HR. Al-Bukhari]
Perhatikanlah sikap wanita beriman tatkala diperintahkan oleh Allah ta’ala, mereka segera mengamalkannya, tanpa menanyakan apakah perintah ini sekedar anjuran atau mewajibkan.
Ketiga: Kalaupun kita menerima bahwa “Hendaklah…” bermakna anjuran bukan kewajiban, maka masih terdapat ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang mewajibkan jilbab. Diantaranya firman Allah ta’ala,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” [Al-Ahzab: 53]
Al-Mufassir Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,
وَبِمَا ذَكَرْنَا تَعْلَمُ أَنَّ فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ الدَّلِيلَ الْوَاضِحَ عَلَى أَنَّ وُجُوبَ الْحِجَابِ حُكْمٌ عَامٌّ فِي جَمِيعِ النِّسَاءِ ، لَا خَاصٌّ بِأَزْوَاجِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Berdasarkan apa yang telah kami sebutkan maka engkau pun tahu bahwa pada ayat yang mulia ini terdapat dalil yang sangat jelas atas wajibnya hijab yang merupakan hukum umum bagi seluruh wanita, tidak khusus bagi istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” [Adhwaul Bayan, 6/242]
Adapun dalil kewajiban berjilbab dan ancaman terhadap para wanita yang menampakkan auratnya dari As-Sunnah, diantaranya sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَ
“Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat, satu kaum yang selalu bersama cambuk bagaikan ekor-ekor sapi, dengannya mereka memukul manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang. Mereka berjalan dengan melenggak-lenggok menimbulkan fitnah (godaan). Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak masuk ke dalam surga. Dan mereka tidak mencium baunya. Dan sungguh bau surga itu bisa tercium dari jarak demikian dan demikian”. [HR. Muslim dari Sahabat yang mulia Abu Hurairahradhiyallahu’anhu]. Lihat di sini.
SukaSuka
Sobri
Maret 23rd, 2014 pukul 19:50
Rasanya apa pun yang kita diskusikan tidak akan ketemu. Sy tdk sepakat jika apa yg Anda uraikan di atas membuat jatuh wajib hukum berjilbab.
Istri Nabi tdk sama dengan wanita muslim biasa. (QS 33:32). Sepeninggal Nabi, apakah istri-istri Nabi boleh menikah lagi? Ada yang berkata, seperti yang tersirat dalam al-Qur’an, mereka tidak boleh menikah lagi. Tetapi, muslimah biasa tentu saja boleh menikah lagi sepeninggal suami mereka. Banyak perintah yang dikhususkan untuk istri nabi tetapi coba diterapkan pada muslimah biasa. Hal itu tentunya mengabaikan QS 33:32. Kalau perintah sholat dan zakat kan tdk hanya ada di QS 33:33, ada jg di ayat2 lain yg berlaku umum untuk umat muslim.
Saya percaya bahwa Allah menciptakan manusia, lelaki atau perempuan, dengan fitrahnya masing-masing. Saya melihat bahwa serangkaian peraturan itu, yg merupakan interpretasi manusia, ingin mengabaikan fitrah yang ada dalam diri seorang perempuan. Akibatnya, perempuan merasa sulit bergerak, ini tidak boleh, itu tidak boleh. Padahal al-Qur’an tidak secara tegas menyebutkan hal-hal tersebut. Dr yg anda jelaskan, mengapa seolah-olah kehadiran perempuan dimaknai tidak penting (hanya berdiam diri di rumah)?
Di dalam al-Qur’an, Kita mengenal ayat-ayat yang tegas (muhkam) dan ayat-ayat yang samar (mutasyabih). Ayat-ayat yang tegas seperti ayat-ayat sholat. Silahkan Anda browse al-Qur’an mengenai perintah Allah untuk sholat. Perintah itu senantiasa terfirman berulang-ulang di beberapa ayat, sehingga manusia merasakan tegasnya perintah itu dan keharusan untuk melaksanakannya. Begitu juga dengan larangan untuk syirik, zakat, puasa, serta datangnya hari akhir. Kesemua perintah itu berulang2 terfirman atau tercantum tegasnya melalui kata “diwajibkan..” di dalam Al-Qur’an. Bandingkan dengan ayat2 yang dirujuk sebagai ayat yg berbicara jilbab, larangan tabarruj, atau keharusan berdiam diri di rumah?
QS 24:31, hanya disebutkan menjaga pandangan, menjaga kemaluan, menutup dada. Jika Allah swt memang mengharuskan perempuan untuk menutup rambut, maka pertanyaannya mengapa tidak ada kata “rambut”? Mengenai yang biasa atau tidak biasa tampak itu akan sangat berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya, maknanya bisa bervariasi.
Oh iya, izinkan sy menyampaikan satu hal, jangan asal percaya dgn apa yg tertulis di internet mengenai islam. Salah satu situs yang pernah Anda sebutkan, misalnya.
Ketika ingin memaknai Al-Qur’an, jangan hanya literal tetapi juga kontekstual. Sebagai contoh mengenai tabir di QS 33:53, coba Anda cari tahu Asbabun Nuzul nya, begitu juga dengan QS 33:59. Kedua ayat itu terkait dengan sebab-musabab turunnya. Cari tahu juga mengenai ibnu Taimiyah serta ajaran2nya, pelajari juga pemikiran2 tokoh islam yang lain. Anda akan menemui keberagaman di sana, dan tidak selalu mereka memiliki pemikiran yang sama. Jangan lupa, cari tahu tentang ibnu Taimiyah dan yang terkait dengannya.
SukaSuka
Viska
Maret 24th, 2014 pukul 23:20
Hehehe.. Kan saya sudah sebelumnya, Pak, ini apa yang mau dicari sih dari diskusi ini, kita bicara atas hal yang dipahami berbeda. Mau ketemu di mana kalau yang satu percaya A dan yang satu yakin B? Misalnya Anda merasa seolah-olah kehadiran perempuan dimaknai tidak penting (hanya berdiam diri di rumah), sementara saya tidak sama sekali merasa seperti itu. Wanita itu memang diciptakan tidak lebih kuat daripada laki-laki, jadi lebih rentan terhadap aksi kejahatan. Justru ayat tersebut menunjukkan penjagaan Islam terhadap wanita. Dua rekan kami barusan berturut-turut dirampok dalam mobilnya, di jalanan yang ramai dan pada jam sibuk. MO perampokan ini sudah sering terjadi dan memang menyasar wanita yang berkendara sendirian. Belum lagi kasus-kasus pemukulan, pemerkosaan terhadap para TKW kita di sini, duh sedihnya, Pak, kalau mendengar kisah mereka 😦 Tidak perlu saya sebutkan statistiknya, Anda bisa googling sendiri. Mau mengikuti fitrah wanita sebebas-bebasnya, yang boleh bergerak apa saja dan bisa melakukan ini itu, tetap saja ada hal di luar kuasa seorang wanita yang tidak bisa dikendalikan. Wanita rentan sebagai objek kejahatan itu nyata. Wanita itu lebih lemah, itu juga nyata dan fitrahnya memang demikian.
Perintah khusus dan umum? Duh Pak, perintah poligami juga tidak khusus untuk Nabi saja, tapi apa semua laki-laki dan wanita suka rela ber-dan-di-poligami 😀 Tapi nggak usah diperpanjang ya, soal poligami, nanti nggak selesai-selesai nih. Buat saya sih, menaati perintah itu nggak perlu harus cari-cari perintah yang tegas dan berulang-ulang dulu, baru nurut. Ada yang disebut satu-dua kali dikuatkan hadits, ijma dan ijtihad para ‘ulama, itu juga sudah cukup 🙂 Saya kan nggak ngarang lho soal itu, saya ikut yang sudah disepakati saja. Anda tidak sepakat, silakan saja, saya juga nggak memaksa. Sekarang saya tanya Anda, perintah khitan ada nggak sih tersebut dalam Qur’an secara tegas, jelas, wajib dan berulang-ulang, sehingga terasa keharusan untuk melaksanakannya? Ada laki-laki muslim yang tidak berkhitan, di luar konteks kesehatan? Pasti jawabannya, nggak ada… 😀
Soal situs Islam, saya nggak minta Anda percaya situsnya, maksud saya adalah mengajak Anda cek tafsir Ibnu Katsir, lihat reply saya sebelumnya. Situs yang paling valid buat saya, almanhaj.or.id saja, saya kasih tautan link-nya di kolom sebelah. Nah, sudah kah dicek tafsirnya? Saya belum, soalnya harus tunggu mudik ke Indonesia dulu baru nanti beli bukunya… Hehehe… Soal istri-istri Nabi yang tidak boleh menikah lagi, Anda sudah baca asbabun nuzul-nya belum? Tafsirnya beda sekali dengan istri Nabi dalam ayat tabarruj. Tapi ya itu yang saya maknai, pastinya pendapat Anda berbeda. Anda menyebut tentang memaknai Qur’an scara literal tetapi juga kontekstual, monggo soal rambut Anda juga baca-baca lagi, yaa… Saya kira kalau Anda paham soal keberagaman seperti yang Anda sebut, sedari awal diskusi yang berlarut-larut ini tidak perlu dong. Saya juga sadar bahwa ada yang berpendapat beda, namun saya menulis apa yang saya yakini saja. Boleh dong, kan blog saya? Nah jika Anda meyakini yang lain sebaiknya Anda bikin blog sanggahan atas postingan saya dan ayat/hadits/ijma/ijtihad ‘ulama yang pro-jilbab. Dan daripada diskusi sama saya yang sekedar mengikutinya, tentu lebih baik diskusi langsung sama ‘ulama-ulama yang sepakat dengan kewajiban berjilbab, ilmunya lebih banyak sehingga jawabannya akan lebih memuaskan hati 🙂
Khalas ya, Pak.
Salam blogging.
SukaSuka
Sobri
Maret 25th, 2014 pukul 09:23
Sebelumnya sy minta maaf karena sudah mengganggu ketenangan blog ini. Saya minta maaf jua atas segala kesalahan yang pernah tertulis atau yang muncul di dalam hati.
Terima kasih atas waktu diskusinya yang berharga
Wassalamu’alaikum Wr Wb
SukaSuka
Viska
Maret 25th, 2014 pukul 11:51
🙂
SukaSuka
Putera Subuh
September 13th, 2015 pukul 05:41
jilbab adalah masalah HAMBA dengan ALLAH SWT,,perbaikan AHLAK yang baik akan berdampak pada keseluruhan baik secara dohir atau bathin,,fokus utama adalah pembelajaran AHLAK,,setuju atau tidak setuju terserah jenengan
SukaSuka
Viska
September 15th, 2015 pukul 21:09
Kata-kata tersebut, saya kembalikan kepada Anda.. Kalau nggak setuju dengan postingan saya, juga terserah njenengan lho. Monggo set-up blog sendiri dan bikin bantahannya. Akur, nggih? 🙂
SukaSuka
azizah
Februari 14th, 2016 pukul 20:43
izin copy ya ukhti.
SukaSuka
Viska
Februari 26th, 2016 pukul 22:53
Silakan gak perlu izin kok 🙂
SukaSuka
Inda
November 17th, 2016 pukul 05:54
Assalamu’alaikum Wr. Wb., admin bukannya yang wajib ditutup adalah tubuh ya, dan ditekankan dalam Alquran adalah dadanya, kemudian perhiasan yang ada diantara kedua kakinya. Kalau kepala kan bukannya biasa yang nampak, sama halnya dengan pria bukan? Kalau pakai kerudung bukankah ini Inisiatif manusi zaman dulu karena pakaiannya yang masih terlalu menonjolkan perhiasan yang ada di dadanya.
Mohon pencerahannya ya admin.
Wassalamualaikum Wr Wb
SukaSuka
Viska
November 17th, 2016 pukul 14:21
Wa’alaykumsalam
Kalau maksudnya “menutup dada” seperti yang disebutkan pada surah An Nuur: 31, tentu kita harus merujuk pula pada surah Al Ahzab: 59 yang kurleb artinya “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Jadi bukan cuma dada ya, yang ditutup 😊 Dan yang biasa nampak itu kan wajah, makanya sebagian ulama menafsirkan perintah bercadar itu sunnah.
Demikian ya, semoga mencerahkan sedikit. Coba buka yufid.com lalu search tentang hijab, insyaaAllah artikelnya lebih lengkap menjelaskan dari yang ada di sini 😊
Wassalamu’alaykum
SukaSuka
1 Trackbacks / Pingbacks
Neli Indah Wahyuni November 23rd, 2016 pukul 14:28
[…] Qur’an ttg perintah berjilbab/hijab’Kenapa Berjilbab (2) Simply because Al-Qur’an said so, Allah SWT told you so. Rasulullah SAW told you so. Datang ke […]
SukaSuka