09/07/08
Poin penting: tidak semua mampu berpoligami.
Suatu ketika saat sedang surfing, tidak sengaja saya menemukan sebuah situs yang ‘mendiskreditkan’ Islam gara-gara poligami. Ceritanya adalah tentang seorang istri yang dipoligami, dipaksa dan dipukuli suaminya agar mau tinggal serumah dengan istri keduanya. Lalu si suami jadi lebih memperhatikan istri kedua, mengabaikan istri pertama dan anak-anaknya. Berlanjut dengan si suami yang tidak lagi memberi nafkah, kemudian menikah lagi untuk yang ketiga kalinya. Padahal si suami sudah naik haji berkali-kali, seorang ‘alim’ dan sudah membangun masjid. Ketika diprotes, suami malah menuduhnya sebagai penentang ajaran Islam. Kisah tersebut berakhir dengan si istri yang minta cerai dan keluar dari Islam. Penulis kemudian ‘mengutuk’ Islam sebagai agama yang biadab (karena poligami sudah membawa kemudharatan bagi istri pertama), Nabi-nya saja pedofil dan tukang kawin, ajaran Islam itu palsu, tidak masuk akal dan menyengsarakan, dll.
Lho,lho, lho. Kok yang disalahkan agamanya sih!!! Saya jadi geregetan. Ini sih, jelas-jelas salah kaprah tentang Islam dan poligami. Baik si penulis yang memaknai poligami, si istri dan si suami yang melaksanakan poligami. Poligami itu boleh, jika mampu. Syarat-syaratnya pun jelas. Kalau tidak mampu, ya tidak boleh karena yang demikian itu lebih dekat ke arah perbuatan aniaya (QS. An-Nisa:3).
Syarat-syarat Poligami (dikutip dari “Fiqih Sunnah Wanita”, karya Kamal bin As Sayyid Salim, 2007) :
1. Memiliki kemampuan untuk bersikap adil antara istri.
Berdasarkan QS. An-Nisa:3, “Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
2. Tidak ada fitnah apapun yang terjadi di antara istri dan jangan sampai karena memiliki banyak istri hingga membuat suami berani menyiakan hak-hak Allah.
Berdasarkan QS. At-Taghabun: 14.
3. Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan para istri, sehingga terjaga kehormatannya.
4. Mampu memberikan nafkah yang cukup kepada para istri (sandang, pangan dan papan).
Tuh, kan. Berat sekali lho, poligami itu. Terutama di bagian pemberian nafkah yang cukup kepada para istri, kata suami saya. Saya membayangkan Pak Hamzah Haz, yang keempat istrinya masing-masing tinggal di rumah yang bagus (kalau tidak boleh dibilang mewah) lengkap dengan mobil pribadi. Penampilan istri-istrinya? Sudah pasti menunjukkan bahwa mereka tercukupi secara finansial. Atau seperti Puspo Wardoyo, yang memberikan usaha (bisnis rumah makan) bagi masing-masing empat istrinya. Tidak ketinggalan A’a Gym, yang sanggup menghidupi dengan layak dua istri dan sepuluh anak-anak mereka. Juga dokter obgyn saya, yang setiap tahun umrah bersama suami dan tiga istri lainnya. Kalau bisa melaksanakan umrah, tentu kebutuhan lain sudah tercukupi lebih dari cukup. Tentu saja, ini hanyalah segelintir ‘kisah manis’ poligami. Kisah getirnya tentu lebih banyak , sehingga banyak juga (kalau saya tidak salah) yang memandang negatif poligami.
Jadi menurut saya, dalam kasus di atas kesalahan semua ada pada suami, bukan pada poligami apalagi Islam. Kesalahan pertama; dia sudah memukul istrinya saja salah, memaksa mereka tinggal serumah pula. Hukum asalnya adalah agar suami menyiapkan untuk setiap istri satu rumah khusus, sebagaimana yang dilakukan Rasullah SAW. Salim (2007) menyebutkan bahwa dalam kitab Al-Mughni (7/26, 27) Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata “Seorang laki-laki tidak berhak mengumpulkan dua orang istri dalam satu rumah tanpa ada ridha dari keduanya, baik rumahnya besar atau kecil, karena hal ini akan menyebabkan kemudharatan atas mereka berdua. Mereka berdua akan bermusuhan dan cemburu, sedangkan berkumpulnya mereka dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian, dan salah seorang darinya akan memperhatikan gerak-gerik suaminya ketika sedang menggilir istri yang lain atau dia melihat hal tersebut. Akan tetapi, jika mereka berdua ridha maka hukumnya boleh, karena ini merupakan hak mereka berdua sehingga mereka boleh tidak menuntut haknya (atau menuntut haknya), begitu juga jika mereka berdua ridha tidur bersama dengan suaminya dalam satu selimut.” (tidur bersama lho, bukan “tidur” bersama) Kesalahan ketiga, tidak bersikap adil antara istri (mengabaikan istri pertama dan anak-anak). Berarti suami itu sudah berbuat aniaya. Tahu kan, dosanya berbuat dzalim (QS. Asy-Syura: 42). Keempat, tidak menafkahi istri pertama dan anak-anaknya. Lalu apakah hanya dengan seseorang itu rajin sholat, naik haji berkali-kali dan membangun masjid; dapat disebut sebagai muslim yang baik, alim dan sholeh; jika dalam melaksanakan ajaran Islam (poligami) saja salah dan perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai Islami?
Saya sendiri bukannya membela buta poligami. Hanya saja saya percaya dengan apa-apa yang disyariatkan dalam Islam adalah benar adanya. Kadang saya pikir, lalu bagaimana dengan perasaan perempuan yang dipoligami? Kok rasanya tidak adil bagi perempuan karena harus berbagi suami. Tetapi apakah keadilan versi saya sama dengan keadilan versi Allah? Bagaimana jika sebenarnya laki-laki itu diciptakan untuk beberapa perempuan, bukan hanya untuk satu saja. Berarti perempuan yang suaminya beristri satu itu telah bertindak tidak adil terhadap hak perempuan lain, karena sudah memonopoli satu laki-laki bagi dirinya seorang. Tentu saja ini hanyalah sebuah pengandaian yang ngawur. Nalar saya, yang makhluk ciptaan-Nya, tidak sampai untuk mengerti ‘pemikiran’ Allah yang menciptakan syariat tersebut. Tentu adalah Allah, Yang Maha Mengetahui tentang kebaikan bagi hamba-hamba-Nya dan yang paling bijaksana dalam menetapkan hukum-Nya. Jadi jika dalam berpoligami terdapat kekurangan yang disebabkan oleh perilaku sebagian individu, jangan digeneralisasi bahwa poligami itu salah dan Islam itu biadab. Kenapa menyalahkan agama yang seruannya untuk berbuat kebaikan dan ajarannya pun untuk kebaikan manusia? Tidak ada yang salah dengan Islam. Yang salah adalah manusia yang menjalankannya.
Saya kira banyak hal-hal dalam Islam yang tidak bisa dinalar akal manusia tapi hanya cukup dipercaya (yakin) saja. Hal itulah yang disebut IMAN (percaya). Bukankan Islam itu terdiri dari (rukun) iman? Pertanyaannya, apakah saya iman kepada Islam? Jika jawabanya ‘Ya’, tentu konsekuensinya adalah percaya (dan yakin) kepada seluruh ajaran dan syariat Islam. Karena Islam itu satu paket, jika saya memutuskan untuk memeluk Islam, maka saya harus menerima, meyakini dan melaksanakan keseluruhan paket itu juga (ajaran dan syariatnya) dalam hati, lisan dan perbuatan. Tidak bisa saya hanya mau Islamnya, tapi tidak mau melaksanakan ajarannya, sholat misalnya. Kalau saya mengingkari, tentu perilaku saya tidak mencerminkan Islam. Muslim kan wajib sholat lima waktu? Apakah lalu saya dapat disebut sebagai penganut Islam yang baik, jika tidak sholat? Wong rajin sholat saja belum dapat disebut sebagai muslim yang baik. Duh, rumit ya. Padahal hal ini berlaku pula pada ajaran dan syariat Islam yang lain. Padahal lagi, ajaran serta syariat Islam itu buanyak sekali… Bagaimana jika saya percaya tapi tidak melaksanakan salah satu saja darinya? Ya berarti, saya saja yang kurang iman, kurang tawaqqal. Katanya percaya, tapi kok tidak dikerjakan? Lalu apakah saya siap untuk dipoligami? Tentu saja tidak. Untuk saat ini… Hahaha 😀 Entah di waktu-waktu ke depan, mungkin nggak bakalan siap juga… Hahaha 😀 Dasar saya yang kurang tawaqqal nih…
19 responses to “Tentang Poligami: ‘Kemudharatan’ Poligami, Poligami yang Sesungguhnya dan IMAN”
imharsafari
Januari 18th, 2009 pukul 01:35
Assalamualaikum,Wr.Wr.
Subhanallah,…… keimanan mbak luar biasa.
itu yang disebut Nikmat Iman. artinya mau menerima Hukum Allah dan Rasulnya. Dan itu yang kita usahakan tiap hari dengan cara sholat dan ibadah lain untuk dapat meningkatkan keimanan.
Poligami terima saja hukumnya.
Perkara dialami atau tidak itu urusan Allah.
Agar kita pada saat mati dalam keadaan menerima dan ridho dengan hukum Allah.
Dan itu yang disebut mati dalam keadaan muslim(beriman/ Khusnul Khotimah)
Masuk surga atau neraka tak cukup dengan amalannya, tp dengan Ridho NYA Allah.
Ridho Allah akan datang, jika kita ridho akan Perintah dan Larangannya, secara total (bukan sebagian atau yang sesuai dengan akal) dan tawwakal atas semua ketetapan yang ditetapkan NYA kepada diri kita.
Al-Quran dan Sunnah Rasul merupakan Petunjuk, adapun “Rasa ke Imann” adalah Taufik dari NYA.
Untuk itu dekati pemberi Taufik dan Hidayah, Insya Allah, Maha Pemberi akan lebih banyak mendekati kita, karena Allah Maha Penyayang lagi Maha Mengetahui.
cara yang mudah adalah dengan bertaqwa dengan sebenar-benar Taqwa, artinya : Taqwa sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, bukan dengan hasil pemikiran/selera.
Waallahualam
Smg Allah slalu melimpahkan ampunan, rahmat, taufik hidayah, kesehatan,Ilmu manfaat, serta rezeki yang mulia, kpd kita dan keluarga, dan ketrunan kita, Amiin.
Wassalam
SukaSuka
Viska
Januari 18th, 2009 pukul 18:42
wa’alaikumsalam…
ahahaha… pujiannya berlebihan sekali, saya malah jadi malu niy 😉 sesungguhnya iman saya belum ada apa-apanya.
sesuai dengan judulnya, masih dalam taraf ‘belajar Islam’…
saya masih berusaha menerapkan apa yang saya pikirkan tentang Islam dalam kehidupan sehari-hari, nggak cuma ngomong (nulis) doang… hehehe…
anyway, terima kasih atas komentarnya, 100% setuju 🙂
wassalam
SukaSuka
imharsafari
Januari 18th, 2009 pukul 01:46
Oh ya mbak satu lagi,
Sudah 5 tahun, Istriku pun sudah memperbolehkan dan setuju untuk kupoligami, tp sampai dengan saat ini tidak atau belum terjadi?!
Untuk saya, kalo dikalkulasi itu tugas berat untuk si suami bukan istri, dan juga “High Risk” untuk dunia akhiratnya untuk suami.
Tapi Jika itu telah menjadi ketetapan Allah yang Maha Kuasa, maka ya harus Ridho.
Seperti ridhonya kita menerima ketetapan yang tidak bisa kita rubah (Sunnatullah :spt: Kaya/Miskin, jenis kelamin,cantik dengan kurang cantik, dsb…dst)
SukaSuka
Viska
Januari 18th, 2009 pukul 18:47
waaah… salut untuk istri Anda! malah nyonya yang keimanannya lebih luar biasa daripada saya…
saya saja (sejujurnya) belum bisa mengerti psikologi hati perempuan yang sanggup dipoligami…
tapi pasti kalau sudah iman, pasti apapun jadi mudah dimengerti (dan dijalani), ya…
SukaSuka
imharsafari
Januari 18th, 2009 pukul 23:36
Resp :1
kerendahan hati (tawadhu) merupakan ciri-2 keimanan yang baik.
dari tekanan isi tulisan, sangat terasa, Amiin (oleh firasat iman/firasat taqwa, pendapat : Al-Qorni)
Smg mbak dan keluarga, beserta kami sekeluarga selalu terlimpah taufik dan hidayah, Amiin
SukaSuka
imharsafari
Januari 18th, 2009 pukul 23:47
Resp 2 :
Mungkin disitu ada nikmat iman yang, berbeda dirasakan setiap wanita. wajar mbak nggak bisa paham, saya juga yg slalu bersamanya aja suka geleng-geleng.
Sebenarnya iman yang mantap adalah menerima hukum Allah dan Rasulnya tanpa syarat, walapun akal/logika dsb.. belum bisa menerimanya, dan secara keseluruhan (kaffah).
mari kita saling mendoakan.
Wassalam
SukaSuka
Viska
Januari 22nd, 2009 pukul 17:49
amin, amin…
terima kasih atas resepnya mas 😉
SukaSuka
(^_^)
Juli 31st, 2009 pukul 22:20
tetapi cap negatif “perebut suami orang” selalu melekat pada sang istri muda. bukankah ini salah satu bentuk kemudharatan bu?
SukaSuka
Viska
Agustus 10th, 2009 pukul 21:53
bisa saja jika anda berpikir demikian. pemikiran yang demikian begitu umum.
kenapa bisa begitu, ya? mungkin nggak, karena awalnya dari perselingkuhan, pacaran diam-diam, nikah diam-diam.. trus ketauan.. makanya si madu disebut “perebut suami orang”?
saya bayangkan awal poligami yg ideal (mungkin).. si istri memang menyetujui poligami. suami ingin berpoligami, lalu mendiskusikannya dengan istri. istri approve. lalu dimulailah acara mencari jodoh kedua.. suami dan istri saling berdiskusi mengenai kriteria istri kedua.. lalu perkenalan, penjajakan, pernikahan, semua diketahui dan disetujui istri.. apakah masih akan disebut perebut suami orang?
oleh karena itu, pendapat apapun itu semua tergantung pemikiran kita 🙂
SukaSuka
aki
Februari 22nd, 2010 pukul 11:26
Salut buat Mbak.Sebagai muslim kita harus menerima ajaran Islam suka atau tidak suka.Karena tidak setiap yang kita suka baik untuk kita.Dan sebaliknya,tidak setiap yang kita tidak suka buruk akibatnya untuk kita.Di tengah poligami banyak dihujat,sementara kebebasan hubungan di antara non muhrim diabaikan,harus ada yang berani tampil menyuarakan “indahnya poligami”.Dan itu harus dilakukan oleh wanita!Ayo Mbak teruslah bersuara! Alloh menyertai kita.
SukaSuka
Viska
Februari 22nd, 2010 pukul 22:14
dududu.. anda loh yang bilang “indahnya poligami”, bukan saya.. hohoho 😀
saya memandangnya dari sudut pandang yang netral saja. poligami adalah syariat yang diijinkan dalam Islam sehingga harus kita terima. indah itu.. kalau semua pihak menerima dan ikhlas.. suami juga “adil”.. tentu saja “membawa manfaat” alias berkah.. kita dukung poligami yang dijalankan dengan BAIK dan BENAR 🙂 baik dalam hal pelaksanaannya dan benar secara syariat. setuju?
SukaSuka
Seorangibu
Februari 25th, 2016 pukul 00:52
Hati-hati mbak menulis, kalau kejadian bisa jd senjata approval si suami loh 😁😁
Harus dilihat juga kondisi sosial dan peradaban budaya saat ini. Kalau jaman dulu, apalagi di Timur saat itu, perempuan yg sendiri (entah janda ditinggal mati/ akil baligh) padahal umur sudah mencukupi untuk berproduksi itu berbahaya sekali tanpa suami. Bisa mendapat fitnah, kekerasan, pelecehan. Kondisi psikologisnya hanya mencari ‘kehidupan’ alias otak yg digunakan adalah otak bagian primitif (kabur/serang: otak yg biasa kita gunakan saat ada binatang buas, otomatis kabur) karena ketakutan. Jadi kondisi poligami saat itu adalah hal yg wajar dan diterima dengan penuh syukur untuk menyambung hidup dirinya maupun anak2nya.
Sedangkan saat ini perempuan sudah banyak perkembangan untuk bebas berfikir dan mengenyam pendidikan. Apalagi cari rejeki lewat online 😋 (kalau memang terpaksa harus cari uang bukan hal sulit lagi, kalau kondisi baik dan normal sebaiknya full time bersama anak)
Saya tidak bilang posisi perempuan sama dengan laki-laki, masing2 diakui Allah punya kehormatan dibidangnya. (Misal: Laki-laki sebagai imam yg baik, perempuan sbg ibu yg dihormati 3x lbh dr laki2 oleh anak2nya,dsb)
Yg saya angkat dengan kondisi budaya seperti sekarang: laki2 mencoba untuk poligami menjadi aneh, perempuan jaman sekarang bisa lebih mandiri, punya banyak peluang pekerjaan, kehormatan juga sudah banyak lembaga yg mendukung dan melindungi. Rasanya menerima dengan ridho suami berpoligami (apa lagi dengan daun2 muda, padahal rasulullah saja dgn janda2 tua) menjadi sesuatu yg memaksakan perempuan menjadi bodoh kembali.😅
Dari hukum2 yg mbak utarakan sepertinya memang hanya perempuan2 yg butuh materi/ menyambung hidup saja yg perlu rela menerima untuk hidup berpoligami.
Kalau kondisi suami mengatasnamakan agama memperbolehkan berpoligami ada niatan berpoligami, artinya si suami tidak sungguh2 membangun rumah tangga. Rumah tangga itu dibangun mbak, bukan cuma tidur 😅
Dibangun itu perlu kepercayaan, saling support, saling fokus ke arah masa depan anak2 untuk berguna bagi banyak orang, tidak terdistraksi oleh pikiran2 negatif (seperti cemburu/ sakit hati krn mikirin istri kedua, tiga dsb)
Kalau mbak mau telusuri tentang poligami, lebih banyak negatifnya daripada positifnya. Apalagi ke anak2nya.
Lebih banyak yg melaksanakan juga laki2 (maaf) hidung belang dari pada yg berniat berderma ke janda2 tua.
Jadi sekali lagi, daripada tulisan ini jd alat penguat para lelaki hidung belang, ayo kita sebagai wanita saling suport saling menjaga hati. Hanya ajakan bukan memaksa 😊🙏🏻
SukaSuka
Viska
Februari 26th, 2016 pukul 22:42
Hehehe.. Memang jaman sekarang ini hukum Islam ditakuti, sunnah dibenci. Poligami ditentang, perkawinan sejenis diperjuangkan; demikian kata Pak Kafil Yamin di status facebook-nya. Namanya sebuah tulisan, ada pro dan kontra itu biasa. Perspektif yang dipakai dalam memandang masalah juga berbeda.
Saya mendukung poligami yang ADIL oleh mereka yang MAMPU. Seandainya para hidung belang baca ini, justru seharusnya jadi surut langkah mereka untuk berpoligami. Apa mereka merasa sudah memenuhi syarat poligami yang sedemikian beratnya? Saya kutip kembali tulisan Anda, rumah tangga itu dibangun, bukan cuma tidur. Kalau nggak mampu ya, jangan dong. Gimana nanti tanggung jawab mereka di akhirat kelak? Kalau tau apa yang terjadi setelah manusia mati, tentu mikirnya seribu kali sejuta.
Lalu jadi perempuan juga yang cerdas lah, jangan mau begitu saja jadi madu seandainya si lelaki berlaku nggak adil sama istri pertamanya. Saya kira jadi istri pertama juga harus lebih cerdas lagi, apa begitu saja meridhoi suami berpoligami kalau dirasa belum mampu? Dan suami yang beriman tentu bisa mengukur dirinya sendiri, sanggup nggak dia berpoligami. Itu bukan hal yang main-main, sebatas nafsu apalagi materi.
Kata saya sih, Anda jangan terlalu alergi lah sama syariat Islam. Dibolehkan Allah ﷻ lho, ada dalam Qur’an. Bukan kata saya. Saya tidak sekalipun berani berfikir Allah ﷻ membuat syariat yang tercela. Seabrek minus dari poligami adalah kesalahan pelaku, bukan syariatnya. Kalau saya sih takut mengingkari kalam Allah. Anda berani?
Maaf, rasanya Anda yang harus berhati-hati dalam menulis. Jangan sampai nanti jemari Anda jadi musuh di hari akhir. Hanya ajakan, bukan memaksa. Barakallah fiiki 🙂
SukaSuka
Anita
Februari 27th, 2016 pukul 00:18
Salam mualaikam.
Saya cuma ingin bertanya kepada para ukthi.
Di luar faktor kemapanan ekonomi, relakah anda dipoligami ?
Udah itu saja.
SukaSuka
Viska
Maret 3rd, 2016 pukul 08:30
Salam
Nita, kalau jawaban saya:
Jika mampu, ان شاء الله rela.
Tapi kalau belum mampu, ya pasti nggak rela.
Ada haditsnya, untuk perintah kerjakanlah semampumu.. untuk larangan, jauhilah. Sederhana, kan? Kalau belum mampu, ya belum dikerjakan nggak apa-apa. Merasa nggak mampu dipoligami? Ya tinggal minta saja sama Allah ﷻ, berdoa, tahajjud, sholat hajat, dll.
Intinya adalah, hukum poligami itu boleh, kalau nggak bisa paham ya cukup terima saja bahwa itu hukum Allah ﷻ yang buat, tidak perlu membencinya. Kadang memang nalar manusia tidak sampai untuk memahami syariat dari Sang Pencipta.
PS: belajar tulis salam yang betul, ya? Salam itu adalah doa juga lho 🙂
SukaSuka
witha
Maret 4th, 2016 pukul 17:49
Seorang Uztad sedang berceramah, ” Wahai para istri, doakan suamimu supaya selalu dilimpahi rezeki oleh Allah, supaya sukses dan berhasil dalam usahanya, supaya kesejahteraan rumah tangga selalu meningkat…”
Seorang wanita berbisik kepada temannya “Jeng, kalo suami gue kaya, yang ade gue dipoligami dech”
SukaSuka
Viska
Maret 8th, 2016 pukul 22:13
Hihihi… doanya kurang lengkap, tambahin lagi “… dan setia dengan satu istri saja.” 🙂 akur, ya?
SukaSuka
Herna
Maret 14th, 2016 pukul 12:14
Sayangnya hal seperti yg diceritakan Ibu Witha cukup sering terjadi, bahkan terjadi kepada salah seorang kawan baik saya, sebut saja Mbak E.
Mbak E dan suaminya Mas H sudah menikah lama, dikarunia 2 orang anak lelaki yang ganteng-ganteng. Rumah tangga mereka cukup harmonis.
Mas H bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar, dan suatu hari, pemilik perusahaan memanggilnya dan memberitahukan bahwa Mas H akan segera diangkat menjadi salah satu direktur di perusahaan itu dan diberi gaji dan fasilitas yang fantastis.
Singkat kata, kehidupan mereka berubah drastis. Awal-awal bekerja di kantor tsb, Mas H naik bus tiap pagi ke kantor. Setelah diangkat menjadi direktur, Mas H mendapat fasilitas mobil yang tergolong cukup mewah dari kantornya, dan mampu membeli sendiri sebuah mobil baru yang juga tergolong mewah. Allah sedang melimpahi kehidupan mereka dengan rezeki.
Tapi, tidak sampai setahun setelah menjadi direktur, Mas H ternyata menikah siri dengan seorang gadis yang masih sangat muda. Mbak E bahkan tidak tahu sampai beberapa bulan kemudian.
Sayangnya, kisah ini hanyalah satu dari begitu banyak kisah serupa.
SukaSuka
Viska
Maret 14th, 2016 pukul 17:12
Saya tidak menutup mata terhadap kasus-kasus “penyimpangan” poligami yang banyak terjadi. Oleh karena itu saya tulis bahwa syarat berpoligami itu sangat berat. Tetapi ketika banyak orang yang rajin sholat tetap melakukan maksiat, korupsi, kejahatan, dll; apakah salah sholatnya? Atau orangnya? Akankah kita katakan Allah ﷻ menurunkan perintah sholat itu nggak benar, karena orangpun tetap jahat anyway?
Poligami; diam-diam menikah, “cuma” siri pulak, tanpa diketahui orang lain, curang, tidak adil, dst: semua itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah ﷺ dan tidak ada dalam Qur’an. Mengutip kata mbak Nita, pernikahan itu harus dibangun bukan cuma masalah tidur. Ibadah dunia-akhirat lho, Bagaimana pertanggungjawabannya kelak jika dilakukan main-main? Jadi para lelaki harus banyak mikir sebelum poligami. Dan wanita juga jangan mau asal dipoligami, apalagi sekedar dinikah siri; tidak legal secara hukum, tidak diumumkan khalayak, tidak dikenalkan kerabat.
Sekali lagi, poligami itu bukan untuk mereka yang nggak mikir dan kurang dzikir. Poin utama dari saya adalah: pahami poligami sebagai syariat dari Allah ﷻ, terima dengan ikhlas dan jangan membencinya. Kritik perbuatan pelaku bukan syariat-Nya, karena bagian iman adalah yakin pada-Nya.
Demikian, semoga dapat dipahami.
SukaSuka