09/07/08

Poin penting: tidak semua mampu berpoligami.

Suatu ketika saat sedang surfing, tidak sengaja saya menemukan sebuah situs yang ‘mendiskreditkan’ Islam gara-gara poligami. Ceritanya adalah tentang seorang istri yang dipoligami, dipaksa dan dipukuli suaminya agar mau tinggal serumah dengan istri keduanya. Lalu si suami jadi lebih memperhatikan istri kedua, mengabaikan istri pertama dan anak-anaknya. Berlanjut dengan si suami yang tidak lagi memberi nafkah, kemudian menikah lagi untuk yang ketiga kalinya. Padahal si suami sudah naik haji berkali-kali, seorang ‘alim’ dan sudah membangun masjid. Ketika diprotes, suami malah menuduhnya sebagai penentang ajaran Islam. Kisah tersebut berakhir dengan si istri yang minta cerai dan keluar dari Islam. Penulis kemudian ‘mengutuk’ Islam sebagai agama yang biadab (karena poligami sudah membawa kemudharatan bagi istri pertama), Nabi-nya saja pedofil dan tukang kawin, ajaran Islam itu palsu, tidak masuk akal dan menyengsarakan, dll.

Lho,lho, lho. Kok yang disalahkan agamanya sih!!! Saya jadi geregetan. Ini sih, jelas-jelas salah kaprah tentang Islam dan poligami. Baik si penulis yang memaknai poligami, si istri dan si suami yang melaksanakan poligami. Poligami itu boleh, jika mampu. Syarat-syaratnya pun jelas. Kalau tidak mampu, ya tidak boleh karena yang demikian itu lebih dekat ke arah perbuatan aniaya (QS. An-Nisa:3).

Syarat-syarat Poligami (dikutip dari “Fiqih Sunnah Wanita”, karya Kamal bin As Sayyid Salim, 2007) :
1. Memiliki kemampuan untuk bersikap adil antara istri.
Berdasarkan QS. An-Nisa:3, “Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
2. Tidak ada fitnah apapun yang terjadi di antara istri dan jangan sampai karena memiliki banyak istri hingga membuat suami berani menyiakan hak-hak Allah.
Berdasarkan QS. At-Taghabun: 14.
3. Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan para istri, sehingga terjaga kehormatannya.
4. Mampu memberikan nafkah yang cukup kepada para istri (sandang, pangan dan papan).

Tuh, kan. Berat sekali lho, poligami itu. Terutama di bagian pemberian nafkah yang cukup kepada para istri, kata suami saya. Saya membayangkan Pak Hamzah Haz, yang keempat istrinya masing-masing tinggal di rumah yang bagus (kalau tidak boleh dibilang mewah) lengkap dengan mobil pribadi. Penampilan istri-istrinya? Sudah pasti menunjukkan bahwa mereka tercukupi secara finansial. Atau seperti Puspo Wardoyo, yang memberikan usaha (bisnis rumah makan) bagi masing-masing empat istrinya. Tidak ketinggalan A’a Gym, yang sanggup menghidupi dengan layak dua istri dan sepuluh anak-anak mereka. Juga dokter obgyn saya, yang setiap tahun umrah bersama suami dan tiga istri lainnya. Kalau bisa melaksanakan umrah, tentu kebutuhan lain sudah tercukupi lebih dari cukup. Tentu saja, ini hanyalah segelintir ‘kisah manis’ poligami. Kisah getirnya tentu lebih banyak , sehingga banyak juga (kalau saya tidak salah) yang memandang negatif poligami.

Jadi menurut saya, dalam kasus di atas kesalahan semua ada pada suami, bukan pada poligami apalagi Islam. Kesalahan pertama; dia sudah memukul istrinya saja salah, memaksa mereka tinggal serumah pula. Hukum asalnya adalah agar suami menyiapkan untuk setiap istri satu rumah khusus, sebagaimana yang dilakukan Rasullah SAW. Salim (2007) menyebutkan bahwa dalam kitab Al-Mughni (7/26, 27) Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata “Seorang laki-laki tidak berhak mengumpulkan dua orang istri dalam satu rumah tanpa ada ridha dari keduanya, baik rumahnya besar atau kecil, karena hal ini akan menyebabkan kemudharatan atas mereka berdua. Mereka berdua akan bermusuhan dan cemburu, sedangkan berkumpulnya mereka dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian, dan salah seorang darinya akan memperhatikan gerak-gerik suaminya ketika sedang menggilir istri yang lain atau dia melihat hal tersebut. Akan tetapi, jika mereka berdua ridha maka hukumnya boleh, karena ini merupakan hak mereka berdua sehingga mereka boleh tidak menuntut haknya (atau menuntut haknya), begitu juga jika mereka berdua ridha tidur bersama dengan suaminya dalam satu selimut.” (tidur bersama lho, bukan “tidur” bersama) Kesalahan ketiga, tidak bersikap adil antara istri (mengabaikan istri pertama dan anak-anak). Berarti suami itu sudah berbuat aniaya. Tahu kan, dosanya berbuat dzalim (QS. Asy-Syura: 42). Keempat, tidak menafkahi istri pertama dan anak-anaknya. Lalu apakah hanya dengan seseorang itu rajin sholat, naik haji berkali-kali dan membangun masjid; dapat disebut sebagai muslim yang baik, alim dan sholeh; jika dalam melaksanakan ajaran Islam (poligami) saja salah dan perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai Islami?

Saya sendiri bukannya membela buta poligami. Hanya saja saya percaya dengan apa-apa yang disyariatkan dalam Islam adalah benar adanya. Kadang saya pikir, lalu bagaimana dengan perasaan perempuan yang dipoligami? Kok rasanya tidak adil bagi perempuan karena harus berbagi suami. Tetapi apakah keadilan versi saya sama dengan keadilan versi Allah? Bagaimana jika sebenarnya laki-laki itu diciptakan untuk beberapa perempuan, bukan hanya untuk satu saja. Berarti perempuan yang suaminya beristri satu itu telah bertindak tidak adil terhadap hak perempuan lain, karena sudah memonopoli satu laki-laki bagi dirinya seorang. Tentu saja ini hanyalah sebuah pengandaian yang ngawur. Nalar saya, yang makhluk ciptaan-Nya, tidak sampai untuk mengerti ‘pemikiran’ Allah yang menciptakan syariat tersebut. Tentu adalah Allah, Yang Maha Mengetahui tentang kebaikan bagi hamba-hamba-Nya dan yang paling bijaksana dalam menetapkan hukum-Nya. Jadi jika dalam berpoligami terdapat kekurangan yang disebabkan oleh perilaku sebagian individu, jangan digeneralisasi bahwa poligami itu salah dan Islam itu biadab. Kenapa menyalahkan agama yang seruannya untuk berbuat kebaikan dan ajarannya pun untuk kebaikan manusia? Tidak ada yang salah dengan Islam. Yang salah adalah manusia yang menjalankannya.

Saya kira banyak hal-hal dalam Islam yang tidak bisa dinalar akal manusia tapi hanya cukup dipercaya (yakin) saja. Hal itulah yang disebut IMAN (percaya). Bukankan Islam itu terdiri dari (rukun) iman? Pertanyaannya, apakah saya iman kepada Islam? Jika jawabanya ‘Ya’, tentu konsekuensinya adalah percaya (dan yakin) kepada seluruh ajaran dan syariat Islam. Karena Islam itu satu paket, jika saya memutuskan untuk memeluk Islam, maka saya harus menerima, meyakini dan melaksanakan keseluruhan paket itu juga (ajaran dan syariatnya) dalam hati, lisan dan perbuatan. Tidak bisa saya hanya mau Islamnya, tapi tidak mau melaksanakan ajarannya, sholat misalnya. Kalau saya mengingkari, tentu perilaku saya tidak mencerminkan Islam. Muslim kan wajib sholat lima waktu? Apakah lalu saya dapat disebut sebagai penganut Islam yang baik, jika tidak sholat? Wong rajin sholat saja belum dapat disebut sebagai muslim yang baik. Duh, rumit ya. Padahal hal ini berlaku pula pada ajaran dan syariat Islam yang lain. Padahal lagi, ajaran serta syariat Islam itu buanyak sekali… Bagaimana jika saya percaya tapi tidak melaksanakan salah satu saja darinya? Ya berarti, saya saja yang kurang iman, kurang tawaqqal. Katanya percaya, tapi kok tidak dikerjakan? Lalu apakah saya siap untuk dipoligami? Tentu saja tidak. Untuk saat ini… Hahaha 😀 Entah di waktu-waktu ke depan, mungkin nggak bakalan siap juga… Hahaha 😀 Dasar saya yang kurang tawaqqal nih…